Oleh: M. Miqdam Makfi
Orientalisme ialah sebuah terminologi yang sedang hangat diperbincangkan oleh masyarakat, khususnya umat Muslim, karena daerah ketimuran yang merupakan objek kajian para orientalis adalah asal muasal agama Islam berada. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, orientalis bermakna; “ahli bahasa, sastra, dan kebudayaan bangsa-bangsa Timur (Asia)“. Namun, belakangan ini, terma orientalis lebih dialokasikan untuk mengidentifikasi orang-orang Barat –Eropa pada khususnya– yang mengkaji kebudayaan Islam di Timur Dekat (Timur Tengah) atau daerah Jazirah Arab. Tentunya yang akan penulis cermati di sini adalah sub-tema ‘keislaman’ yang sedang ramai-ramainya dielaborasi oleh para orientalis tersebut.
Pada awalnya, dikabarkan bahwa kepentingan Eropa dan Amerika di dunia Timur lahir akibat interaksi kebudayaan yang dinamis bersamaan dengan hal-hal politis, militer, dan ekonomi. Namun, pada lembar historis selanjutnya, Edward W. Said menyatakan bahwa pergulatan orientalis berkembang pada hal penyebaran kesadaran politis ke dalam aspek estetika, sosiologi, sejarah, filologi, dan yang paling penting; keilmuan. Lebih jauh, manakala istilah Timur yang merupakan objek kajian para orientalis tidak lagi dipandang sebagai wilayah Asia secara keseluruhan atau menunjukkan hal-hal yang jauh dan eksotik, maka Islam merupakan pemahaman yang paling pas untuk istilah ini. Pengertian yang terakhir inilah yang pada akhirnya menjadi titik fokus utama pada elaborasi singkat ini.
Dalam perkembangannya, tercatat tidak sedikit orientalis yang mulai fokus untuk menelaah kebudayaan Arab-Islam. Terlebih pasca perang Salib di mana kondisi psikis orientalis dari kalangan umat Kristen dan Katolik kala itu masih terguncang oleh kekuatan Islam. Berangkat dari ‘keterguncangannya’ itulah mereka mulai mencari-cari cara demi ‘mengkokohkan’ kembali mental mereka. Hal ini tentunya memiliki konsekuensi tersendiri bagi para orientalis itu untuk mengkaji kebudayaan dan keyakinan umat Muslim yang kemudian digunakan untuk meruntuhkan ideologi Islam. Theodor Noldeke mengiyakan pernyataan bahwa pada abad permulaan dahulu, kajian orientalis –terhadap Arab-Islam– memang diorientasikan untuk menjatuhkan keimanan orang Islam. Oleh karenanya, suatu kewajaran jika literatur orientalis klasik selalu membicarakan kelemahan-kelemahan Islam tanpa hampir sama sekali mengapresiasi kemuliaan agama Muhammad ini.
Sejatinya, ada sumber yang mengatakan bahwa hingga abad ke-19, Timur selain jazirah Arab merupakan daerah yang telah mutlak tunduk di bawah kolonialisme Eropa. Arab-Islam kala itu hampir tidak terjamah oleh Eropa karena –seperti yang diakui Gibbon dalam Decline and Fall-– memiliki angkatan militer yang amat tangguh. Yang lebih menegangkan, Arab dan dunia Islam dianggap oleh bangsa Eropa sebagai bentuk provokasi yang nyata. Tentunya opini ini muncul mengingat secara geografis dan kultur, semenanjung Arab memiliki kedekatan yang menakutkan bagi agama Kristen. Pada masa seperti inilah validitas pernyataan Noldeke dapat diterima. Selain nama-nama seperti Simon Ockley dan Voltaire, hampir tidak ditemukan sama sekali tokoh orientalis yang mengapresiasi kagungan Islam. Pun mereka berdua masih sangat berhati-hati dalam penghormatan mereka terhadap Islam karena ditakutkan akan muncul respon negatif dari masyarakat Eropa yang notabene merupakan bangsa pembenci Islam di periode itu. Ketidaksukaan Eropa ini terlihat jelas saat muncul kritik keras kepada History of Saracens milik Ockley yang menuliskan bahwa berkat Islamlah Eropa memperoleh pengetahuan pertama perihal filsafat.
Napoleon Bonaparte, seorang pembesar sekaligus orientalis terkemuka dari Perancis mengakui bahwa faktor paling fundamental yang menghambat ekspedisinya untuk menguasai Mesir adalah eksistensi Islam di sana. Melalui pengalaman dan tutur cerita Comte de Volney dalam karyanya Voyage en Egypte et en Syrie, Napoleon berhasil meluluh-lantahkan kebesaran umat Muslim di Mesir. Cara halus yang diaplikasikan Napoleon dalam rangka menguasai peradaban, keilmuan, dan tentunya teritorial Mesir mendapatkan hasil yang luar biasa. Strategi yang digunakan Panglima Besar Perancis ini amat jauh jika dibandingkan dengan taktik Requerimiento milik orang-orang Spanyol saat ingin menguasai India di mana bangsa Spanyol meneriakkan radikalisme dalam usaha kolonialisme itu.
Suatu kala, dengan penuh keyakinan Napoleon mengundang 60 Dosen al-Azhar untuk diberi penghormatan militer penuh dan kemudian dibujuk dengan asumsi kekaguman Napoleon terhadap al-Qur`an, Muhammad, dan tentunya agama yang dibawanya yaitu Islam. Napoleon juga berupaya sesempurna mungkin untuk menjadikan penafsiran al-Qur`an yang dilakukan oleh para imam, qadli, mufti, dan ulama lokal supaya dapat menguntungakn Grande arme. Akal ini berjalan mulus dan dengan segera penduduk Mesir kehilangan prasangka buruknya terhadap keberadaan tentara Perancis di Negara Fir’aun.
Dus, benarlah konklusi yang sudah terpajang di atas bahwasanya sikap orientalis permulaan memang merupakan sebuah sikap permusuhan terhadap Islam. Baru di masa-masa awal abad ke-20, mulai bermunculan tokoh-tokoh orientalis yang simpatik serta mengapresiasi Islam dengan segala kesempurnaannya. Arthur John Arberry, orientalis Inggris yang ahli di bidang tasawuf Islam, merupakan salah seorang tokoh yang bersikap positif kepada Islam. Beliau berusaha untuk menjelaskan hakikat Islam yang sesungguhnya kepada Eropa. Demi obsesinya itulah beliau memperingatkan para orientalis lain untuk mengekang penilailan mereka akan Islam terlebih dahulu sebelum memahami dan menemukan fakta akan keberadaan Islam yang sesungguhnya.
Diawali oleh Arthur, mulailah dikenal oleh Islam keberadaan kaum orientalis yang
lebih bersahabat. Bahkan, Simone Haig, salah seorang orientalis Spanyol yang pada awalnya membantai Islam habis-habisan akhirnya mengiyakan kebesaran dan keagungan ajaran Islam. Penghormatan kepada kaum feminim yang mulia di Islam mendapatkan apresiasi penuh dari Haig. Orientalis kawakan sekelas Robert Simone, Gustav Lobon, dan Kalila Sranelli Cherko mulai berani menyerukan kepada bangsa Eropa akan kemuliaan ajaran Islam di berbagai aspek. Bahkan, pada periode-periode berikutnya, bermunculan banyak orientalis yang memeluk dan mejadi salah satu corong syiar agama Islam di Eropa dan Amerika. Suatu kebanggaan bagi Islam karena telah mampu merangkul bangsa Barat untuk menyakini akidah agama samawi yang terkahir ini.
Pada akhirnya, sebuah catatan yang ingin penulis sertakan di sini adalah sikap umat Muslim yang harus dikedepankan menghadapi para orientalis. Islam harus melestarikan ajarannya dalam menghargai dan menghormati seluruh umat manusia. Akan tetapi, patut kita jadikan pertimbangan pula bahwa orientalis sejatinya hidup di daerah yang terkenal bermusuhan dengan Islam. Theodor Noldeke yang mengakui kemuliaan Islam terbukti hanya menelaah historisitas al-Quran yang rancu. Sikap kritis yang ditunjukkan di Geschichte des Qorans melebihi penghargaannya kepada al-Quran. Oleh karena itulah Islam harus mampu memilah-milah orientalis dan tentunya karya-karyanya. Sebisa mungkin umat Muslim mampu mengambil manfaat dari apa yang telah dikerjakan oleh para orientalis tanpa terjerembab dalam lubang-lubang keraguan yang terselip di sana.:)
Daftar Pustaka:
Noldeke, Theodor: Geschichte des Qorans, New York, 2000, diarabkan dengan judul Tarîkh al-Qur`an, Beirut, 2004.
W.Said, Edward: Orientalism, Vintage Books, New York, 1979, diindonesiakan oleh Asep Hikmat: Orientalisme, Pustaka, Bandung, 2001
Badawi, Abdurrahman: Mausû’ah al-Mustasyriqîn, diindonesiakan oleh Amroeni Drajat: Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Yogyakarta, LkiS, 2003
Bayumi, Muhammad: Syahâdah al-Mustasyriqîn, Kairo, Dâr al-Nail, 2006
0 Response to "Wajah Orientalis"
Post a Comment