Oleh: M. Miqdam Makfi
Momok. Label itu mungkin tepat disematkan pada disiplin ilmu yang satu ini. Sebagian menyebutnya sebagai ilmu hakikat. Yang lain sering memanggilnya dengan philosophy atau al-falsafah. Sedangkan kita lebih suka mendengungkannya dengan terma filsafat. Kajiannya terlalu rumit. Penuh dengan konsep-konsep epistemis membingungkan yang tidak sedikit. Dalam membahas otoritas agama sering dianggap pelit. Hingga kadang para peminatnya pun –karena sering dicap liberal– merasa sakit.
Guru Besar Pertama, Arsitoteles, membuka gerbang filsafat Yunani kompleks yang mencakup moral, seni, sains, politik bahkan metafisik. Paduan disiplin teoretis dan praksis yang amat menawan. Al-Kindi yang hidup di Jazirah Arab meneruskan semangat al-mu’allim al-awwal tersebut dalam mensinergikan konsep dan aplikasi filsafat dalam kehidupan nyata, khususnya di bidang sains. Raksasa filsafat Barat dari Jerman, Hegel, tidak mau kalah dan berhasil menjual laris freedom concept-nya serta sempat concern di area civil society. Filsafat praksis berjaya di tangan mereka.
Dalam terminologi lain, islamisasi ilmu pengetahuan sedang marak belakangan ini. Holmes Rolston III agaknya menjadi perintisnya kala mengarang science and religion: a critical survey di tahun 1987. Secara lebih spesifik (baca: hanya dari sudut pandang salah satu agama yaitu Islam), Ziauddin Sardar muncul dengan an early crescent; the future of knowledge and the environment in islam yang terkenal itu. Mereka bersama agamawan-agamawan lain yang mengkaji sains dan ilmu pengetahuan berusaha menyadarkan manusia, bahwa agama ada di mana-mana. Bahkan di dunia ilmu pengetahuan dan tekhnologi, agama juga pasti bercokol. Tinggal bagaimana cara manusia membawa paradigma sains menuju dunia religius. Dan pastilah disepakati bahwa benang pembatas agama dan filsafat tidak lebih tebal dari kain sutra Cina milik Lady Hsi-Ling-Shih yang konon menjadi cikal bakal rahasia fashion terbesar berumur 2000 tahun lebih itu. artinya, islamisasi ilmu pengetahuan identik dengan elaborasi sains menggunakan filsafat agama. Dan ini merupakan pengamalan filsafat praksis.
Walhasil, fakta historis –bahkan sejarah yang sedang berjalan sekarang pun– membuktikan bahwa pionir-pionir filsafat praksis bejibun adanya. Namun mengapa filsafat masih dikatakan melangit? Mengapa hanya para akademisi canggih yang berhak tahu dan mengaplikasikannya? Dan apakah seorang petani tidak boleh hidup dengan konsep filsafatnya sendiri? Atau bahkan arti filsafat pun petani itu tak tahu?[]
0 Response to "Filsafat Praksis"
Post a Comment