Oleh: M. Miqdam Makfi
Pancasila. Kehadirannya memang bermakna amat mendalam. Tak usah memutar memori menuju tahun kelahirannya. Beberapa waktu lalu, tepat di ulang tahunnya, 1 Juni 2008, eksistensinya sudah terkesan begitu dahsyat. Rakyat Bumi Pertiwi geger oleh sebuah peristiwa ganas. Katakanlah Ahmadiyah. Selaku penyebabnya tentu. Sebuah kelompok –yang mengaku Islam– yang muncul dengan ideologi barunya –berupa ketidakpercayaannya pada kenabian Muhammad Saw– di tengah-tengah keterpurukan Islam kini. Salah tentunya, jika dipadankan dengan Ahmadiyah Pakistan. Buktinya, produk Nusantara yang ini masuk kategori ‘aliran’ Islam dalam kacamata khalayak maupun kalangan elit (baca: Pemerintah dan ulama/pemikir).
Tak perlu diungkit memang. Biarlah kelahiran Ahmadiyah menjadi sebuah kenangan saja. Poros kali ini adalah FPI dan AKBB. Sang pemilik hak sengketa.Keduanya diklaim sebagai ‘yang salah’. Oleh berbagai lapisan pihak tentunya. Pertanyaan favoritnya adalah: Siapa yang sebenarnya salah?
Sekali lagi. Pancasila benar-benar menunjukkan kedahsyatannya. Ketuhanan. Insiden itu teracik serta diniati untuk dirampungkan oleh dan demi apologi-apologi religius. Kemanusiaan. Konfrontasi fisik mana yang tak mungkin dikecam oleh prinsip ini? Persatuan. Tidak munafik kalau insiden tersebut bakalan menentukan masa depan salah satu rumusan Pancasila ini. Kerakyatan. Kasat mata tentunya keberadaan rakyat sebagai pelaku kasus ini. Keadilan. Haruslah dipikirkan bersama keberadaan pihak-pihak yang diadili dan merasa mengadili. Apakah semuanya benar-benar adil?
Ah, benar rupanya. Pancasila ada di sekitar kita. Bahkan rasanya ia ingin merayakan ulang tahunnya di tahun kabisat kali ini. Mungkin sudah benar ketika ia mengadakan pesta perayaan. Sayang saja para undangan tidak menghadirkan kue ulang tahun yang indah. Namun justru bom molotov yang merekah.
Zeyno Baran, S. Frederick Starr, dan Svante E. Cornell sepakat bahwasanya tahun 1980 merupakan awal mula berkembang pesatnya radikalisme Islam. Kala itu Uni Soviet yang berhasil menjadi tanah suburnya. Sebuah kesepakatan sosial pastinya, jika radikalisme ini merebak dan meluas ke teritorial lain.
Sampailah di Indonesia. Kekerasan dalam Islam itu lambat laun mulai terpatri pula dalam sanubari Muslimin Indonesia. FPI menjadi salah satu poros yang memang terkenal aduhai dalam pengkaderan masa berjiwa fundamentalis ini. Benar memang jika fundamentalis bukanlah radikalis. Mereka mengawali kiprahnya dengan sebuah niatan tulus; mengembalikan Islam kepada hakikatnya. Sayangnya, sesuai genealogi yang ada, niatan yang tulis ini tidak diembankan kepada tenaga aplikatif yang memadai, sehingga melahirkan varian interpretasi religius yang ngawur dan amburadul. Mencuat sudah terma radikalisme untuk golongan ini.
AKBB, sebuah aliansi di sudut lain yang berusaha menetralisir hal ini. Mereka bergerak dengan cara pragmatis yang lebih halus. Hanya saja, pertautan ideologis akan benar-benar menjadi tembok besar antara mereka dan kaum fundamentalis (baca; radikalis) yang mulai merasa menemukan Islamnya. Akhirnya, dari peperangan ideologi inilah tersulam benang-benang ketegangan satu sama lain. Puncaknya ketika Ahmadiyah muncul sebagai sebuah aliran sesat yang membawa nama Islam. Bak terpukul palu keras dari belakang, kalangan fundamentalis berusaha membalas pukulan itu dengan tindakan yang lebih keras. Sebaliknya, golongan yang lebih bijaksana berusaha menyelesaikannya dengan cara yang lebih halus.
Ahmadiyah memang salah, bahkan nomenklatur ‘bajingan’ lebih tepat disematkan padanya. Ia telah menjadi sebuah bola yang diperebutkan kedua tim. Satu tim ingin melepaskan tendangan kerasnya kepada bola itu menuju gawang. Sedangkan tim lawan lebih bermain tekhnik dan berharap mampu melesatkannya ke dalam gawang dengan gaya akrobatik. Naas rupanya, entah karena apa, sang wasit tidak mampu mengamati pertandingan dengan seksama. Aturan-aturan main yang telah ditetapkan PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) dilanggar begitu saja tanpa respon jelas dari wasit. Bahkan untuk menentukan pelanggaran atau tidak, wasit masih harus menyaksikan tayangan ulangnya. Lalu bagaimana dengan offside yang tentunya lebih membutuhkan kejelian, kecepatan, dan keputusan untuk mengambil keputusan?
Layaknya PSSI dan wasit dalam persepakbolaan Indonesia, pemerintah dan (mungkin) MUI, harus benar-benar mampu mengawasi jalannya pertandingan dengan baik. Ketika terjadi pelanggaran, siapapun itu harus segera ditindak. Pun ketika keduanya bersalah, tak segan pula wasit harus mengeluarkan kartu peringatan untuk keduanya.
Di lain sisi, bola bundar yang menjadi titik fokus utama dalam sebuah pertandingan harus diperhatikan. Sebuah bola yang berduri dan beracun tentunya harus disingkirkan dari lapangan hijau. Akan tetapi, meledakkan bola ini di tengah pertandingan pastilah menimbulkan kegemparan pemain dan penonton. Pemerintah harus benar-benar memiliki konsep yang cantik untuk mengantisipasi gerakan Ahmadiyah menghancurkan Islam, tanpa mengacuhkan prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam berkebangsaan.
Martin Van Bruinessen pernah bertutur, lembar historis menyatakan bahwa Islam di Indonesia –bahkan di dunia– amat berkelindan dengan politik. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pernah –tanpa sadar– memiliki dualisme ideologis. Di satu sisi mendukung –dan didukung tentunya– gerakan Sukarno-Hatta untuk mengapresiasi demokrasi Barat dan ajaran neo-patrimonialnya. Namun di sisi lain, dengan keyakinan fundamentalnya mereka berusaha menepis dan menganggap ajaran yang datang dari luar Islam sebagai sebuah penyakit serta marabahaya. Lebih terlihat politisnya, ketika lembaga ini ‘ketahuan’ menjalin hubungan dengan Rabithah al-‘Alam al-Islami yang berpusat di Saudi Arabia.
Kini juga pasti seperti itu. PSSI harus mengindahkan kemungkinan permainan politik para pemain Indonesia, apalagi ketika politik itu sampai terjalin keluar. FIFA selaku pemilik kekuasaan mutlak di dunia pastilah merasa jengkel. Oleh karenanya, permasalahan Ahmadiyah –dan segala seluk beluknya– ini harus segera diselesaikan dengan finishing yang indah. Kalau memang harus menentukan pemenangnya, lempar koin-pun dapat ditetapkan. Tentunya jika solusi terakhir itu memang menjadi langkah yang paling tepat.[]
0 Response to "Akhirnya GOAL!!!"
Post a Comment