Oleh: M. Miqdam Makfi
Belakangan ini terasa ada semacam pemiskinan rakyat yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Bukan hanya kebutuhan sekunder dan tersier, namun hingga barang-barang pokok pun mengalami kenaikan harga yang amat menyesakkan. Fenomena ini tentunya menimbulkan efek yang cukup kompleks dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Seperti biasa, seperti halnya ketika ada masalah ini itu dalam berbagai keputusan pemerintah, demo-demo mulai marak terjadi. Berbagai golongan berusaha untuk meyakinkan pemerintah bahwasanya keputusan mereka ini salah. Kenaikan BBM dan harga-harga pokok lain merupakan langkah tidak solutif terhadap problematika bangsa. Pemerintah dipaksa untuk melihat dan ikut merasakan penderitaan kalangan ekonomi lemah dalam menerima keputusan yang inhumanis ini.
Saya, selaku bangsa Indonesia, sedih mendengar kekacauan kecil yang menimpa Tanah Air ini. Entah karena saya sendiri tidak merasakan kekurangan, atau karena hal lain, namun saya merasa ketidakterimaan masyarakat ini terlalu berlebihan.
Kesalahan harusnya dilemparkan kepada rezim orde baru, yang pemimpinnya belakangan waktu lalu telah meninggal (baca: Bpk tercinta Ir. Soeharto). Apresiasi tinggi layak dinisbatkan kepada mantan Bapak Negara tersebut. Dengan jerih payah dan pengorbanan yang tak sedikit, beliau telah berupaya untuk menjaga stabilitas negara, ekonomi khususnya. Rakyat kecil pasti tau itu. Mereka pasti merasakan kehidupan yang berkecukupan, dan tentunya, tidak sesulit sekarang ini. Harga-harga kebutuhan dapat dikatakan stabil. Mungkin 'murah' adalah terma yang lebih tepat.
Masa silam itu harusnya tidak terkubur begitu saja. Selidik demi selidik, beberapa kalangan sempat meyakini bahwa stabilitas harga kala itu hanyalah kebohongan belaka. Secaya hiperbolis, pemerintah Orde Baru berusaha untuk membahagiakan rakyat dengan memberikan subsidi yang sebesar-besarnya. Mungkin benar jika ada yang bilang bahwa itu hanyalah langkah politis belaka, agar kekuasaannya tetap dipercaya. Namun fakta berbicara, bahwa subsidi-subsidi tersebut amatlah menguras harta negara, yang secara tidak langsung merupakan harta rakyat, walaupun tak pernah dihayati secara utuh.
Sebuah penggambaran yang harusnya dihayati; misalkan saja harga bensin premium per-liternya adalah 7.000 rupiah. Pada rezim Bapak Soeharto, pemeritah memberikan subsidi gila-gilaan –yang entah dapat utangan dari mana– hingga akhirnya seluruh rakyat dapat memperoleh bensin premium hanya dengan harga 2.000 pe-rliter. Ini berarti pemerintah memberikan subsidi 5.000 rupiah untuk tiap liter bensin premium. Jika per-harinya sebutlah 10 juta liter bensin dikonsumsi, berarti pemerintah memberikan subsidi sebesar 50 milyar. Tiap bulan akan membutuhkan 1,5 trilyun rupiah. Sudah ada berapa anak tak mampu yang bisa sekolah dengan uang itu??
Setelah Soeharto mangkat, pemerinta berusaha realisitis, subsidi yang gila-gilaan tersebut dikurangi hingga akhirnya rakyat harus merogoh koceknya sampai 5.000 rupiah demi membeli satu liter bensin. Rakyat akan merasa amat shock. Namun sayangnya, rakyat tidak menyadari, bahwa harga 5.000 itupun sebenarnya sudah mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Proses pengurangan subsidi di satu aspek demi meningkatkan subsidi di aspek lain dan juga kebutuhan negara lain, harusnya diterima secara wajar. Bukan justru dihujat untuk kembali menaikkan subsidi tersebut. Lebih lagi, akhirnya uang yang dihemat pemerintah itu nantinya pasti kembali ke rakyat, hanya saja bukan berupa bensin lagi. Beasiswa studi meningkat, banyak sekolah-sekolah gratis untuk siswa tak mampu, dan realisasi lainnya yang diwujudkan pemerintah.
Berangkat dari penggambaran seperti, harusnya rakyat tidak merespon keputusan pemerintah secara frontal. Langhkah pemerintah ini merupakan sebuah tindakan yang mengutamakan fairness. Harga murah yang awalnya bisa didapat oleh setiap golongan rakyat, dirubah oleh pemerintah menjadi harga mahal untuk semua golongan, dengan bagi-bagi gratis untuk para ekonomi lemah. Ini artinya, pemerintah benar-benar realistis. Orang kaya harus bayar mahal untuk satu liter bensin, namun orang miskin justru mendapatkan barang-barang gratis. Artinya, harusnya orang miskin tidak merasa dirugikan.
Fakta berkata, 19 juta lebih rumah tangga memperolah bantuan tunai dari pemerintah. Kalangan ekonomi lemah lain juga diberi beras 15kg per bulannya. Silahkan baca faktanya di SINI
Akhir kata, saya hanya ingin mengingatkan kepada para demonstran itu....cermati lebih dalam keputusan yang diambil oleh pemerintah. Pada tulisan ini, saya sama sekali tidak menyebut hal-hal ke-luar negeri-an yang sebenarnya amat mempengaruhi keputusan pemerintah tersebut. Saya yakin, para demonstran itu akan amat terpukul dan malu tentunya ketika tahu dan sadar, betapa kompleksnya pertimbangan yang diambil oleh pemerintah. Namun tentunya, demo-demo itu tetap dibutuhkan oleh pemerintah. Mengapa? Tentunya karena sudut pandang rakyat jugalah yang menjadi salah satu determinan mengapa pemerintah mengambil keputusan itu....thanks
0 Response to "Indonesia Miskin??"
Post a Comment