Sosiologi, dengan segala percabangan kajiannya, merupakan sebuah disiplin ilmu yang amat inovatif, penuh stimulus, dan dinamis. Akan tetapi, progresivitas ilmu ini sontak mandul saat berbenturan dengan kajian keagamaan; seakan tak mencukupi. Bahkan hanya meninggalkan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab. Setidaknya, inilah yang didengungkan oleh para pakar sosiologi Barat sekelas Marx (1867), Weber (1904), dan Durkheim (1912). Yang mengejutkan, disinyalir bahwasanya kajian sosiologi ini akan jauh lebih compang-camping jika dilekatkan pada Islam. Akhir 1974, Bryan S. Turner, seorang sosiolog Inggris, membuat sebuah konklusi bahwa kenyataan itulah yang menjadikan para sosiolog acuh dan sama sekali tak tertarik kepada kajian keislaman.
Beberapa sosiolog yang berupaya berkonsentrasi pada kajian Islam, justru malah menjadi para pengkaji yang menyesatkan dan tidak memiliki konsistensi mutlak. Ini ter-representasikan pada diri Max Weber sebagai salah satu sosiolog yang berupaya untuk mengkaji Islam secara fokus. Sayangnya, dalam urusan inkonsistensi ini Max Weber tidak berdiri sendirian. Edward Said dalam masterpiece-nya yang bertajuk Orientalism (1978) menemukan sebuah fakta menarik. Menurutnya, bukan hanya Max Weber, namun secara mayoritas, akan muncul inkonsistensi dan kepicikan-kepicikan pada kajian-kajian sarjana Barat ketika mengelaborasi budaya dan peradaban luar. Pada kasus ini, tentunya Islamlah yang dianggap sebagai non-western culture tersebut. Sejatinya, Max Weber sama sekali tak tertarik kepada Islam sebagai sebuah entitas religius. Klaim sepihak yang mengiyakan adanya konsentrasi Weber dalam mengkaji Islam adalah palsu karena tentunya hal itu akan menyalahi prinsip kapitalisme sebagai ideologi dasar Weber.
Max Weber tidak pernah mengkaji Islam secara optimal. Bahkan uraian-uraiannya tentang Islam pun tampak hanya sebagai pelengkap terhadap kajian utamanya perihal “Protestan Ethic”. Mungkin, inilah yang kemudian mendorong Weber untuk meninggalkan kajian sosiologinya terhadap Islam jauh sebelum ia mampu menyentuh seluru aspek-aspek keislaman. Syukurnya, Islam mampu menunjukkan pada Weber akan urgensi keberadaan Islam dalam kajian sosiologi agama. Studi Weber terhadap sosiologi Islam justru melengkapi riset Carl Heinrich Becker dalam memberikan disparitas jelas antara feodalisme yang ada di Eropa dan di Islam.
Tulisan ini diupayakan untuk membedah konstruksi pemikiran Weberian dan kritik terhadapnya. Tentunya ini tidak dapat menjadi kajian utuh terhadap apa yang diungkapkan oleh Weber, “its thrust is on Islam and capitalism interrelationship.”
Pelbagai Postulat Umum Weberian
Dalam pandangan Weber, secara historis, karakteristik masyarakat religius dan esensi agama sebagai sebuah institusi, merupakan determinan utama yang menentukan arah pandangan politik agama itu. Imbasnya, hal itulah yang menentukan apakah sebuah agama berdialektika dengan tradisi liberal atau tidak. Dalam buku Protestant Ethic dan Spirit of Capitalism, Weber mengungkapkan argumen senada yang digunakan saat membahas konsep ekonomi; hubungan kausalitas antara ‘Protestant Ethic’ dan kapitalisme rasionalis. Menurutnya, asketisme (zuhĂ»d) merupakan sebuah kebutuhan dan keniscayaan dalam tatanan kapitalis. Akan tetapi, keberadaan asketisme tersebut selalu dilandasi atas beberapa variabel.
Variabel-variabel seperti yang termuat dalam General Economic History disinyalir Weber sebagai sebuah persiapan dan keperluan yang dibutuhkan untuk membentuk konstruk kapitalis. Yang dimaksud variabel asketisme di sini adalah sifat keterbutuhan manusia untuk memenuhi hak psikisnya hingga kemudian merasa butuh akan komersialisasi hidup. Ini yang mengawali tesis Weber akan urgensi asketisme sebagai sebuah bagian penting dari kapitalisme modern. Untuk membuktikannya, Weber mengadakan pengamatan dan perbandingan antara berbagai macam peradaban dan mencari tahu keberadaan determinan-determinan ini dalam masing-masing kultur. Dari riset yang ia lakukan, Weber menemukan sebuah fakta bahwa di Cina, India, dan tanah Islam di Timur Tengah, variabel-variabel prasyarat kapitalisme tersebut cenderung tidak ada. Weber menemukan bahwa masyarakat Islam cenderung hidup hedonis dan penuh kemewahan, terlebih ketika berurusan dengan wanita. Fenomena ini mengindikasikan sebuah konklusi yang tak dapat dihindari bahwa Islam kala itu dapat dikatakan sebagai institusi yang berdiri di seberang prinsip puritanisme.
Deskripsi konstruk pemikiran Weberian ini dapat digambarkan melalui penjelasan dua variabel utama; norma keislaman dan patrimonialisme yang dianut oleh kalangan Islam belakangan.
Norma-norma Islam
Weber menunjukkan bahwa di dalam dunia Islam, sama sekali tidak ditemui keberadaan hukum-hukum yang sarat denan prinsip humanisme-rasional, otonomi daerah, independensi masyarakat sipil, serta stabilitas politik. Anehnya, -tidak seperti tesisnya di awal- Weber sama sekali tidak menarik benang merah antara ketiadaan kapitalisme dalam Islam dengan ketiadaan prasyarat-prasyarat tersebut. Sebaliknya, ia justru menceritakan dua faktor fundamental yang menjadikan Islam tidak mampu berkembang. Pertama, monoteisme yang dibangun di Mekah tidak mampu menjelma menjadi agama yang penuh nilai asketisme. Sebab sejak awal, agama monoteis tersebut meluncur dari tangan para prajurit perang. Pesan-pesan religius dalam kepercayaan monoteis ini akan beradaptasi dan malah mencair dan menemani rasa keterbutuhan duniawi para prajurit itu. Sisi-sisi spiritual dalam Islam yang menekankan pengampunan dosa dan hal-hal akhirat lain, berubah menjadi khayalan-khayalan materi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan duniawi. Hasilnya, Islam lebih menjadi agama yang akomodatif daripada agama yang transformatif.
Kedua, pesan-pesan sufistik yang dibawa oleh agama sejatinya diorientasikan untuk mengubah tatanan masyarakat hedonis dengan memberikan kepuasan emosional –dengan asketisme tersebut. Sebagai konsekuensinya, muncullah dua kutub dalam Islam yang saling berlawanan; kawanan prajurit hedonis dan kaum sufi asketis. Sebagaimana dikatakan oleh Weber, keberadaan dua golongan tersebut dengan sendirinya menjadikan Islam gagal dalam memproduksi prasyarat-prasyarat tadi hingga kongruen dengan yang dibutuhkan oleh kapitalisme.
Patrimonialisme Islam
Sudut pandang kedua dalam persepsi Weberian dibangun dari observasi terhadap struktur ekonomi dan politik pemerintahan Islam yang berdiri belakangan seperti Abbasiyah, Mamaluk, dan Ottoman. Menurut Weber, struktur ini menyalahi kriteria yang ada pada standarisasi patrimonial. Tipologi struktur politik dan ekonomi ini bergantung pada wilayah-wilayah jajahan yang nantinya harus mampu menyokong kekuatan birokrasi pusat. Struktur politik itu nantinya akan berkaitan erat dengan peradaban sosial meliputi raja, militer, ulama, dan masyarakat sipil. Acapkali timbul perebutan kekuasaan antar saudara yang menjadikan struktur politik kacau. Namun tidak mempengaruh konstruk sosial di wilayah tersebut. Problematika politis dalam pengamatan Weber tentang sistem khalifah adalah ketergantungan penuh Sang Khalifah kepada basis militer yang hampir tak dapat dipercaya. Sang Raja harus mampu menghalang keberadaan dan pertumbuhan lembaga-lembaga otonom jika ingin tetap mempertahankan kekuatan, kekuasaan, serta monopolinya dalam kehidupan sosial yang patrimonial. Di sisi lain, lembaga-lembaga otonom tersebut akan dengan sendirinya melebur ke dalam kekuatan militer yang ada. Akhirnya, para pengacara, pedagang, dan mayoritas ulama, terkumpul dalam sebuah keluarga birokrat yang mendukung pemerintah. Konstruk dan sistem yang menghambat tumbuh kembangnya lembaga-lembaga otonom inilah yang dipandang Weber sebagai salah satu distingsi mendasar antara Islam dan Eropa.
Weber juga menyimpulkan bahwa konstruk politik inilah yang menghalangi terbentuknya hukum-hukum formal-legislatif karena yuriprudensi Tuhan ‘tunduk’ begitu saja kepada negara serta kenyamanan para politisinya. Kegagalan lain menurut Weber, bahwa wilayah-wilayah Islam selalu gagal mengembangkan produktivitasnya di luar ranah militer dan altar pemerintahan. Wilayah-wilayah ini juga terbukti tidak mampu menyediakan lahan yang kondusif untuk progresivitas pedagang serta rakyat sipil lainnya. Secara umum, dapat dikatakan bahwa sistem politik Islam ini senilai dengan budaya imitasi yang tak mengenal inovasi. Yang terakhir ini, sebenarnya sama sekali tidak menjadi penghalang untuk mewujudkan hal-hal yang diperlukan oleh sistem kapitalis. Faktor yang menghalangi kapitalis ini sejatinya adalah kesenjangan posisi politik antara kelas pedagang dengan bikrokrasi militer yang selalu mendominasi pada setiap peradaban Islam.
Kritik Atas Weberian Islam
Poin pertama yang harus diperhatikan adalah upaya Weber untuk mengkorelasikan dua variabel di atas (baca: norma Islam dan patrimonialisme Islam). Disepakati oleh para sejarawan dan sosiolog bahwa norma-norma etis Islam lahir dan tumbuh dari pergulatan panjang selama tujuh tahun yang terjadi di Mekah dan Madinah ketika Nabi hidup. Sedangkan, patrimonialisme atau sistem pemerintahan turun menurun dalam Islam baru dimulai pada masa dinasti Umayyah dan mencapai puncaknya pada rezim Ottoman. Penjelasan paling masuk akal dari kesalahan Weber dalam mengkaitkan dua hal yang masing-masing berdiri dengan sendirinya ini adalah –seperti apa yang dikatakan oleh Turner– kepercayaan Weber bahwa sebuah agama akan selalu memiliki stempel sejarah yang tak terhapuskan. Jelas ini merupakan awal yang salah, karena faktanya, seluruh agama yang eksis di dunia akan berubah sedemikian rupa sesuai perubahan waktu dan kondisi.
Poin kedua, pesona norma-norma keislaman yang dituturkan oleh Weber memiliki cacat di dua tempat. Pertama, tak ditemuinya alasan Weber untuk tidak mengangkat fenomena komersil dan lingkungan urban yang ada di peradaban Islam. Seperti yang diiyakan oleh Prof. Montgomery Watt bahwasanya Islam muncul dalam lingkungan urban yang komersil dan berkembang pesat di wilayah metropolis lainnya (baca: Madinah). Banyak sekali problematika teologis Islam yang berangkat dari permasalahan komersial. Bahkan al-Qur`an pun menyebutkan konteks metropolis ini berulang kali. Mainstream para Islamolog pastilah mengalir bersama pendapat G. E. Von Grunebaum yang menyatakan bahwa kesalihan dan ketakwaan Nabi Muhammad benar-benar dibangun dalam sebuah wilayah yang sama sekali urban.
Secara global, sistem ekonomi dalam Islam diorientasikan kepada tiga sasaran: menghormati properti individual lain, pengayoman pasar bebas yang baik dan efektif, serta meminimalisir kesenjangan antara golongan borjuis dan proletar. Sebagaimana Protestant ethic yang dibanggakan oleh Weber, Islam juga memerintahkan umatnya untuk bekerja keras demi mencari penghidupan dan upaya menjaga kesejahteraan keluarga. Islam justru melarang umatnya bermalas-malasan dan hanya bergantung pada sedekah serta uluran tangan orang lain. Namun, tidak seperti halnya kaum Protestan, Islam tidak pernah meminta tumbal akan keberhasilan umatnya sebagai syarat agar diterima amal-amalnya. Sebaliknya, sebagaimana Islam memerintahkan umatnya untuk bekerja keras, Islam juga menentang materialisme, upaya pengumpulan harta yang berlebihan, dan obsesi manusia akan kebahagiaan duniawi.
Di sisi lain, walaupun Islam mendukung upaya manusia untuk mengumpulkan harta secukupnya, Islam melarang usaha pengumpulan harta-harta dengan jalan pintas dan panas seperti judi, bunga dan lainnya. Bank-bank yang berdiri di atas pondasi agama Islam lebih cenderung mengaplikasikan konsep usaha rugi-laba daripada bunga-bunga deposit seperti bank-bank lain.
Sebagaimana disinggung, pegumpulan dan penimbunan harta yang berlebihan merupakan perbuatan yang dilarang oleh Islam. Oleh karenanya, Islam menyediakan berbagai cara-cara halal dan efektif untuk mengelola harta umatnya. Zakat, wakaf, sedekah, dan praktek kegamaan lainnya merupakan beberapa sampel yang cukup representatif. Sebenarnya, fakta ini menjelaskan dengan sendirinya bahwasanya komunitas Islam memiliki peradaban penunjang kapitalisme, seperti syarat yang diungkapkan Weber dalam ungkapannya “komersialisasi kehidupan ekonomi”.
Kedua, pernyataan Weber bahwasanya kekuasaan dan praktisi militer Islam berdampak negatif kepada karakteristik Islam secara menyeluruh, hampir tidak dapat dipertahankan. Bahkan terkesan terlalu dilebih-lebihkan. Kenyataannya, kalangan militer Islam ini sebenarnya merupakan salah satu corong dakwah yang patut diperhitungkan. H.A.R Gibb mengklasifikasikan masyarakat yang masuk Islam ke dalam tiga golongan. Golongan pertama adalah pemeluk Islam murni yang dengan serta merta dan penuh keyakinan menerima Islam sebagai agamanya Muhammad sebagai Utusan Allah. Golongan kedua terdiri dari para pedagang Mekah yang merasa bangga kepada Islam. Tersebab agama ini mendukung kebebasan pasar. Bukan malah membatasinya. Di samping itu, mereka merasa kompatibel dengan kaidah-kaidah al-mashlahah yang dijunjung tinggi oleh Islam. Golongan terakhir merupakan kumpulan prajurit perang yang masuk Islam karena iming-iming harta ghanimah dan kesejahteraan lain di kubu tentara Islam.
Poin kedua dalam kritik ini –seperti disepakati oleh Turner– berangkat dari hal-hal yang lebih umum; argumen-argumen mendasar Weber dalam kajiannya tersebut. Weber melupakan konflik panas yang terjadi antara orang-orang shalih dan aturan-aturan yang ada di sekeliling mereka. Begitu juga gap yang terjadi antara para pelajar dan pejabat hukum. Pun Weber tidak mengangkat solidaritas sosial dalam kasus sekolah-sekolah hukum serta kriminalitas.
Kritik-kritik di atas yang juga telah dibuktikan oleh riset-riset modern, harusnya mampu mematahkan konsep prinsipil dari ajaran Weber yang menyatakan bahwasanya patrimonialisme (sistem pemerintahan turun menurun) Islam telah menghentikan laju progresivitas Islam di hadapan kapitalisme Barat kala itu.
Relevansi Sosiologi Weber di Era Kontemporer
Tujuan utama dari sosiologi ala Weber adalah menguatkan relasi yang terbentuk antara konsep-konsep ekonomi modern dengan keberadaan budaya dan agama yang melingkupinya. Ekonomi modern merupakan sebuah usaha menuju ‘rasionalitas’ finansial. Maksudnya, sistem ekonomi yang terorganisir, efektif, hemat, dan mengutamakan kesejahteraan buruh serta keberhasilan pasar bebas. Proses ini harusnya dikawal oleh sumber daya manusia yang memang work-oriented, disiplin, dan tidak berhasrat untuk melakukan pekerjaan yang sia-sia. Jika memang ini yang dituntut oleh modernitas, maka sesuai yang disarikan oleh Ernest Gellner, Islam –dengan konsep-konsepnya dan modernisasinya– pastilah mampu menjadi “produsen kebutuhan tiap masa dan kondisi”. Namun, kenyataan yang ada di negara-negara Islam tidak berbicara seperti itu. Sistem ekonomi yang berkembang di negara ini tidak layak disebut sebuah kegagalan, pun tidak pantas dikatakan sebagai sebuah keberhasilan. Bahkan, ditemui penyelewengan-penyelewengan terhadap kekayaan minyak yang dimiliki beberapa negara Islam. Realita seperti ini justru menjadi semacam teka-teki bagi umat Islam. Walaupun memiliki sumber daya alam yang memadai, kaum borjuis komersil, dan didukung oleh tingginya angka urbanisasi, dunia Islam terasa jauh dari komplek industrialis. Sekalipun diakui bahwa beberapa kawasan mampu mengembangkan dan menyebarkan sistem ekonomi modernnya dengan teknologi yang memadai.
Ini tak mengubah kegagalan Islam untuk menjadi kawasan industri. Namun di sisi lain, hal-hal yang mengindikasikan keberhasilan itu seakan-akan tetap dan terus ada. Konstruk berpikir Weberian pastilah tak kan mampu menjawab puzzle ini. Cara berpikir yang lebih komprehensif dibutuhkan untuk menyelesaikan problematika ini. Selama abad 20, Islam memang tampil dengan berbagai bentuk dan gaya yang mempengaruhi sistem ekonomi, sosial, dan politiknya. Konsekuensinya, Islam memang tepat dan layak dijadikan materi serta pembahasan dalam kajian Weber. Namun, menjaga Islam dan memberi jarak antaranya dan antara Weberian, merupakan sebuah keniscayaan selama patrimonialisme masih terus dipertanyakan.
Kesimpulan
Kajian singkat ini menunjukkan lima hal yang perlu diperhatikan dalam membaca kajian-kajian Weber. Pertama, argumen-argumen Weber tidaklah berkesan sama sekali di atas altar “agama individualistik”. Agama dalam struktur pemikiran Weber hanya merupakan faktor krusial yang berpengaruh besar pada sistem ekonomi, sosial, dan politik. Kedua, wacana Weberian merupakan kajian yang representatif terhadap praduga-praduga pada abad 19 dan sebelumnya. Ketiga, ditemui titik panas yang problematis dalam konsep serta kajian Weber terhadap kalangan militer Islam. Keempat, dengan menjauhi al-Qur`an dan sumber-sumber keagaaman dalam Islam masa awal, dengan sendirinya Weber menjauhkan kajiannya dari hal-hal yang mendekatkan dia kepada keberhasilan sosiologis. Dan kelima, kritik patrimonialisme Weber (terlalu) didirikan di atas alasan-alasan empiris, sekalipun hanya dalam konteks dan waktu tertentu. [] diterjemahkan dari:
http://www.bangladeshsociology.org/Max%20Weber-Anwar%20Hosain.htm
Oleh: M. Miqdam Makfi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
assalamu'alaikum.wr.wb. salam kenal mas.
Mas miqdam izin copy artikel antum terkait kritik tentang weber ya, untuk bhn diskusi dikelas saya. insya Allah sumber akn selalu disertakan. nama saya wasis, sya mengajar sosiologi di SMA Islam di daerah Bandung. htr nuhun sebelumnya.