Oleh: M. Miqdam Makfi
Berita perihal aksi kekerasan yang dilakukan oleh penduduk pribumi Mesir –Kairo khususnya– kepada kaum wâfidîn rupanya mulai membentuk opini publik yang berlebihan. Warga Indonesia pada khususnya, yang bertempat tinggal dan tentunya melakukan interaksi langsung dengan warga pribumi Mesir mulai memiliki persepsi yang tidak-tidak akan perangai mereka. Di mata mayoritas orang Indonesia, penduduk asli Mesir memang sudah dapat dikategorikan sebagai komunitas barbar yang berwatak dan berperangai keras.
Sebenarnya opini publik ini tidak terbentuk secara serta merta. Ini bukan hanyalah respon aktif dari sekedar fenomena tindak kekerasan yang mulai ramai. Bukan hanya fenomena tindak kekerasan yang mengahantui warga Indonesia, namun lebih. Seorang mahasiswi Indonesia pernah diperlakukan tidak seronok oleh seorang supir taksi. Tanpa sungkan-sungkan, supir taksi tersebut memperlihatkan kemaluannya di hadapan mahasiswi itu. Di lain waktu, ada yang bertutur bahwa bukan cuman satu dua kali beberapa mahasiswi Indonesia sempat ingin diperkosa ketika sedang berjalan di daerah yang jauh dari keramaian.
Tingkah seronok supir taksi, minimnya kinerja staf tata usaha Universitas al-Azhar yang sering ditemui Masisir, tindak kekerasan yang ramai belakangan ini, ditambah sifat emosional pribumi yang berlebihan hanya karena urusan sepele, ijra`ât yang selalu antri di mana saja, transaksi yang selalu lama dan dipersulit (rumah, DSL/koneksi internet, dll), frekuensi pencopetan yang makin meningkat, ulah usil orang Mesir –khususnya orang-orang desa– kepada turis, dan perangai-perangai imoril lain yang dilakukan orang Mesir sudah lebih dari cukup untuk mengambil konklusi. Untuk menyatakan bahwa secara umum, bahwa orang Mesir memang radikal dan harus diwaspadai. Wajar jika akhirnya muncul opini publik untuk selalu waspada kepada orang Mesir.
Sayangnya, entah karena terpengaruh nalar Arab yang radikal dan selalu saja mencari kelemahan pihak lain tanpa menyadari kelebihannya, atau karena sebab lain, warga Indonesia sama sekali kurang mengapresiasi hal-hal positif yang dicerminkan oleh penduduk pribumi Negeri Kinanah ini.
Saat-saat menjelang berbuka puasa di bulan Ramadhan, acap kali terlihat di jalanan, pemuda-pemudi Mesir membagi-bagikan kurma dan air mineral secara gratis kepada para pengguna jalan raya untuk sekedar membatalkan puasa. Musa’adah mingguan –bahkan ada beberapa yang harian– mengeruyak di Mesir pada bulan Ramadhan, zakat yang ada pun tidak hanya dialokasikan kepada warga pribumi yang membutuhkan, namun lebih luas, sebagian dibagikan pula kepada penduduk asing, khususnya pelajar dan mahasiswa.
Universitas al-Azhar, Majelis A’la, asrama Muqattam, Wami, dan lembaga-lembaga lain telah memberi beasiswa lebih dari cukup kepada mahasiswa Indonesia untuk akomodasi dah kebutuhan lain di negeri ini. Fenomena seperti ini kiranya akan sulit ditemui di Indonesia, bukan karena pendapatan perkapitanya yang minim (karena terbukti Mesir dan Indonesia sama-sama merupakan negara berkembang), namun lebih karena kurangnya solidaritas yang erat antar penduduknya.
Sebuah cerita, seorang mahasiswa Indonesia, ketika melihat-lihat buku di toko buku Dar el-Salam, sempat terperanjat karena tiba-tiba diberi uang 100 Le. oleh orang Mesir untuk dibelanjakan buku-buku di situ. Setelah ngobrol sana sini, semakin terlihat kebaikan hati orang Mesir tersebut. Sebelum berpisah, mahasiswa itu mendapat hadiah setumpuk buku Tafsir al-Manar lengkap karangan Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha. Seorang Mahasisiwi yang bermukim di asrama bu’ûts, sempat sekali mendapat uang 100 Le. ketika dia mengikuti forum talaqqi yang diadakan pihak asrama. Bulan Ramadhan kemarin, seorang mahasiswa yang baru sekali berangkat ke Masjid untuk i’tikaf, diberi 600 Le. oleh orang Mesir tak dikenal. Dan banyak lagi cerita-cerita lain yang menunjukkan kebaikan hati orang-orang Mesir.
Mungkin hati umat Islam Indonesia yang ada di Mesir akan sedikit miris ketika mengkomparasikan fenomena kehidupan sosial yang ada di Mesir dan Indonesia. Gengsi bisa jadi merupakan alasan utama ketika tampak bahwa jarang sekali ada penduduk di Indonesia yang sekedar saling mengucapkan salam kepada warga lain –terlebih kepada orang asing–, apalagi hingga berani memberi bantuan ekonomi dan bantuan lain yang amat membutuhkan pengorbanan.
Melihat fenomena seperti itu, kurang pantas rasanya jika warga Indonesa terlalu bersikap antisipatif terhadap keberadaan orang-orang Mesir. Taqdîr mumtaz serta predikat Lc., MA., atau Doktor yang digenggam ketika pulang ke Indonesia akan menjadi nihil jika tidak dibarengi dengan tingkah laku sosial yang royal, adaptatif, namun tetap antispatif. Jika menghadapi warga Mesir yang pada umumnya masih homogen saja kewalahan, tentunya hampir dapat dipastikan hubungan sosialisnya akan kurang ketika berinteraksi dengan warga Indonesia yang jauh lebih heterogen.
Untuk itu, pengambilan sikap yang tepat guna bukan merupakan alternatif, namun syarat utama seseorang untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan tinggi di mata masyarakat. Antisipasi dan waspada memang krusial, namun harus diaplikasikan dengan tindakan preventif yang tepat, bukan yang overdosis hingga terkesan tidak menerima kalangan-kalangan suspected tersebut. Mereka bukan musuh, belum juga dapat dipastikan sebagai teman, tinggal terserah kita akan menjadikannya sebagai apa dan siapa.[]
0 Response to "Negeri Fir’aun; Kejam?"
Post a Comment