Oleh: M. Miqdam Makfi
Cerita ini bermula 1500 tahun sebelum Masehi. Bangsa Arya, salah satu kalangan elit di dunia kala itu, melakukan migrasi dari Asia Tengah dan daerah Laut Kaspia menuju sebuah daerah strategis yang terletak di pertemuan Timur Tengah dan Asia Barat Daya. Dua suku Arya, Medes dan Persia, berpencar di daerah ini untuk kemudian membangun kerajaannya masing-masing. Hampir satu milenium setelahnya, suku Medes berhasil mengusir suku Persia dan menguasai seluruh kawasan ini. Iran. Nama daerah ini yang dalam bahasa Persia, bermakna ‘tanah bangsa Arya’.
Kisah lain berujar bahwa Iran telah memiliki peradaban yang maju dan mapan, jauh sebelum Islam datang. Tentara Sparta dari Yunani dan militer Romawi, dua kekuatan besar di zaman dulu itu sempat merasakan gelombang besar dari gempuran Iran. Pierre Briant, dalam bukunya From Cyrus to Alexander: A History of the Persian Empire menyatakan bahwa India, pernah terpengaruh oleh seni budaya Archaemenia asal Iran. Dia juga yakin bahwa bahasa Armenia tumbuh dan besar dalam pengaruh peradaban Persia dan menjadi bagian dari bahasa Iran. Bukan bahasa mandiri.
Sebagian literatur menuduh, sejarah dan peradaban di Iran amatlah pelik. Kekuasaan Archaemenia yang diwakili oleh Cyrus dan Darius, kemudian Macedonia lewat Alexander-nya, bangsa Parthian, hingga Sasania yang dipelopori oleh Ardhasir (asli Persia), memang telah memberikan kontribusi agung pada peradaban Iran yang menggurita. Rel panjang ini yang menjadikan peradaban Iran dianggap tak pernah matang; belum tuntas adaptasi dengan sebuah budaya, sudah dijejali budaya lain. Dan alkisah, Islam yang berjasa membenahi keruwetan ini. Kedamaian yang dibawa disambut meriah oleh warga Iran. Ekstrimisme perbudakan warisan Sasania yang mencekam mendapati kebuntuannya ketika Islam datang. Sontak, Iran pun terislamkan. Hingga sekarang.
Dan semua terpana. Pada Islam dengan bendera perdamaian dan kebahagiaan yang menerangi Iran. Zoroastrianisme model Persia kuno berganti, menjadi jiwa Islami dari Arab. Bahasa Arab menyingkirkan bahasa Pahlavi. Tapi Iran tak sepenuhnya terpana. Iran lebih memutuskan untuk menempuh pola keberislaman yang berbeda dari induk semangnya. Ras Arya, golongan yang bermartabat tinggi di mata dunia, merasa bahwa bangsa Arab berada beberapa kelas di bawahnya. Identitas kelas di satu sisi, dan upaya melarikan diri dari jerat radikalisme Sasania di sisi lain, menjadikan Iran memilih untuk bernaung dalam Islam dengan format Syi’ah heterodoks. Sebuah upaya keberislaman yang “angkuh”; enggan menghamba pada Arab.
Kesaksian tak sama mencoba menyelamatkan sejarah kelahiran Syi’ah ortodoks ini. Ada keyakinan penuh bahwa pentahbisan orang-orang Iran terhadap Ahl al-Bait (baca: ikut aliran Syi’ah), merupakan manifestasi penghormatan mereka pada kerajaan Persia. Dalam Bihâr al-Anwar, salah satu buku otoritatif di kalangan Syi’ah, disebutkan bahwa Sayyidina Hussein ibn Ali, Imam ketiga dalam kepercayaan Syi’ah, menikahi Shahrbanu, putri dari Yazdegerd III, raja terakhir dinasti Sassania yang ditaklukkan oleh Islam di bawah kepemimpinan Umar ibn Khattab. Tak heran, beberapa pihak berprasangka jika Iran (Persia) taat dan berupaya memperkukuh posisi Syi’ah demi penghormatan atas Putri mereka. Bukti menarik lainnya, 12 sosok yang menjadi Imam di kalangan Syi’ah merupakan keturunan Sayyidina Hussein, tanpa terkecuali. Tak satupun Imam yang lahir dari garis nasab Hasan ibn Ali, kakak kandung Hussein.
Sekalipun tak mesti benar, fakta terakhir itu kerap menarik untuk diceritakan. Adalah Abu al-Abbas Muhammad ibn Yazid, tokoh pertama yang mencuatkan fakta historis ini. Pendapat ini diikuti oleh Abu Hanifah Ahmad ibn Dawud al-Dinawari dan penafsir modern yang cukup termasyhur, Sayyid Muhammad Hussein Thaba’thaba`i. Klaim ini kian kukuh dengan adanya riwayat tentang datangnya ruh Sayyidah Fatimah Zahra kepada Shahrbanu, Putri Persia tersebut. Syams al-Mu’ali Abu al-Hasan Ghabus ibn Wushmgir dalam karyanya yang dikenal dengan sebutan Qabusnama juga mepertegas pendapat ini. Entah atas alasan apa, Ayatollah Muthahhari dan Ali Syari’ati menolak pendapat ini. Mereka merujuk pada riwayat terdahulu Ibn Sa’d al-Baghdadi dan Ibn Qutaibah. Keduanya meriwayatkan bahwa Sayydina Hussein menikahi budak dari Pakistan bernama Gaazala (Solaafa) yang sama sekali tidak ada hubunganya dengan kekuasaan Sassania di Persia.
Atau biarkan yang lain bercerita. Peradaban di Iran telah terbangun semenjak kedatangan bangsa Erlanit di tahun 3000 SM., sebelum akhirnya diambil alih oleh suku Arya. Perjalanan panjang ini lebih dari cukup untuk sekadar memapankan segala kebudayaan yang ada di tanah Persia. Oleh karenanya, mengimani mazhab Syi’ah, kelompok yang acap kali dipandang sebelah mata, tak menjadikan semangat untuk memajukan peradaban mundur. Sejak pertengahan abad 8 Masehi, Iran telah menjadi pusat seni dan sastra. Sementara itu, kajian teologis, filsafat, kedokteran, matematika, fisika, dan lainnya terus berkembang sejalan dengan bertambahnya umur Iran. Terlebih setelah Iran berhasil menguasai sebagian wilayah Yunani dan Romawi.
Syahdan, Indonesia meneguk air susu Islam yang mengalir dari hulu bernama Persia. Ideologi Sunni yang merajalela tak kan pernah kuasa membuyarkan budaya shalawat-an (implementasi hub kepada Nabi). Nikmat, akhirat, shalawat, shalat, dan lainnya adalah kata-kata yang berakhiran ‘t’ (ala Persia), bukan berakhiran ‘h’ (ala Arab).
Malang mungkin, air cucuran atap tidak sampai pada pelimbahannya. Hanya sekadar ini yang diterima oleh Indonesia. Realisme Iran untuk melakukan apa yang belum dilakukan, mencari tahu apa yang belum diketahui, terkubur begitu saja oleh gundukan nalar imajinatif. “Seandainya aku punya mobil bagus, seandainya aku punya rumah besar, seandainya aku punya uang banyak, seandainya aku mampu menguasai dunia, seandainya aku menjadi orang pintar, dan seandainya…”. Justru berbalik, budaya Arab mandul yang digandrungi. Bangga dengan jubahnya, dengan tasbihnya, dengan kopyah-nya, dan dengan jilbabnya. Padahal, teladan itu jelas membayang di Iran.[] M. Miqdam Makfi
0 Response to "Teladan"
Post a Comment