Oleh: Muhammad Miqdam Makfi
Prolog
Sebuah konklusi publik bahwasanya al-Qur`an merupakan suatu teks mati, yang tak kan pernah berbicara tanpa hadirnya corong mufassir sebagai jubir-nya. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah menyarikan statement seperti ini dalam sebuah riwayat. Pun tak ayal juga jika orientalis ternama sekelas Gadamer pernah mem-booming gara-gara ucapannya yang ‘terkesan’ radikal; The Dead of the Author. Sejatinya, ungkapan Gadamer ini sama sekali persis dengan apa yang telah didengungkan oleh Sayyidina Ali, hanya saja Gadamer lebih menggeneralisir pada seluruh teks yang eksis di alam kosmos ini. Sebuah teks –apapun itu– pasti memiliki sosok yang menjabat sebagai sang kreatornya. Ini berarti, makna teks yang sarat akan kesempurnaan kebenarannya hanyalah dimiliki oleh sang pembuat teks. Ketika orang lain membaca dan menafsirkan teks tersebut, maka belum tentu apa yang akan didapatkan oleh pembaca itu sama persis dengan apa yang dimaksud oleh pembuat teks.
Al-Qur`an sebagai closed corpus tentunya juag memiliki karakteristik yang sama dengan teks lain. Kebenaran absolutnya hanya dimiliki oleh Sang Maha Absolut sebagai Dzat yang dengan segala kesendiriannya menciptakan teks suci itu. Ketika akhirnya Allah ‘lepas tangan’ (dalam istilah Gadamer berarti ‘Dead’) dari kitab suci itu, maka pemahaman manusia akan artikulasi yang tersirat dan tersurat dalam al-Qur`an hanyalah bersifat relatif dan tak kan pernah bisa dipaksakan.
Dengan kesadaran hipotesis seperti ini, mulailah muncul puspa ragam penafsiran terhadap al-Qur`an yang bahkan tidak jarang bertolak belakang. Ternyata, di sisi lain metodologi dan piranti-piranti yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur`an juga variatif. Semua itu tentu saja tergantung pada kondisi biografis penafsirnya dan juga lingkungan sosio-kultural di sekitarnya. Berangkat dari fenomena seperti inilah akhirnya penulis ingin menyuguhkan wejangan yang bertemakan ‘tafsir saintifik’, sebuah corak penafsiran modern yang juga dianggap oleh para penganutnya sebagai jalan terbaik untuk mendekati kebenaran mutlak al-Qur`an. Dalam tulisan berikut, penulis sama sekali tidak bermaksud menafsirkan ayat secara sosaintis, penulis hanya ingin sedikit membocorkan rahasia tafsir saintifik yang dimiliki para ulama baik teoritis maupun praksis sehingga nantinya dapat dikupas lebih jauh untuk diapresiasi atau bahkan dikritik.
Tafsir Saintifk
Secara definitif, sedikit terjadi perbedaan redaksi antara satu ulama dan ulama yang lain perihal terminologi di atas. Menurut Husain al-Dzahabi, yang dimaksud dengan tafsir ‘ilmi adalah: Corak penafsiran yang menggunakan nomenklantur-nomenklantur ilmiah dalam menafsirkan al-Qur`an, serambi mengusahakan untuk mencuatkan ilmu pengetahuan modern baru darinya. Sedangkan Qardhawi muncul dengan redaksi yang sedikit berbeda; Tafsir ‘ilmi adalah tafsir yang mengadopsi beberapa disiplin ilmu modern sebagai piranti dalam menafsirkan ayat-ayat Ilahi. Yang dimaksud ilmu modern oleh Qardhawi adalah kosmologi, yaitu disiplin ilmu yang pada awalnya hanya bermakna ilmu tentang alam kosmos, namun diulur oleh Yusuf Qardhawi menjadi induk disiplin ilmu yang melingkupi ilmu pengetahuan alam dan sosial serta humaniora. Ini berarti, segala disiplin ilmu non-religius yang eksis di dunia ini legal untuk digunakan menafsirkan al-Qur`an secara saintifik.
Tentunya dapat dimengerti bahwa apa yang dimaksud oleh kedua ulama tersebut dan juga para ulama lain yang mengartikan terma tafsir saintifik, amat identik. Dalam artian, secara umum dapat dikatakan bahwa tafsir ‘ilmi atau tafsir saintifik merupakan corak penafsiran modern yang amat berkelindan dengan teori-teori ilmiah modern. Lebih anarkis, mungkin bisa dibilang bahwa tafsir saintifik merupakan jenis penafsiran yang berusaha merelevansikan tekstualitas al-Qur`an dengan fenomena ilmiah rasional yang eksis di dunia belakangan ini.
Dengan pemahaman umum seperti ini, para ulama Islam terbagi menjadi dua kubu dalam meresponnya. Imam besar pengarang Ihya Ulumuddin, Syeikh al-Ghozali, amat mengapresiasi lahirnya metodologi baru dalam menafsirkan al-Qur`an, tak terkecuali metodologi saintifik ini. Beliau bersama dengan al-Suyuthi, Abu Fadhl al-Marasi, dan beberapa punggawa besar Islam lainnya mendukung dan percaya bahwa al-Qur`an merupakan kitab hasil revelasi dari Allah yang memang ditujukan untuk membimbing kehidupan manusia. Ini berarti, sesuai dengan salah satu firman Tuhan bahwasanya al-Qur`an merupakan kitab suci yang memuat segala hal tanpa terkecualikan.
Problematika medikal, kosmologi, astronomi, bahkan biologi dan fisika sejatinya telah terangkum dengan rapi dalam lipatan-lipatan mushaf tersebut. Bahkan Ibn Mas’ud ra. Berkata, “Barang siapa menginginkan ilmu pengetahuan klasik dan modern, maka renungkanlah dengan seksama ayat-ayat Ilahi!” Jika diamati, maka seluruh pemuka agama Islam yang mendukung keberadaan tafsir saintifik selalu menggunakan tendensi bahwasanya al-Qur`an –seperti yang diterangkan oleh Allah– merupakan kitab yang memuat segala hal di dunia tanpa ada yang kelewat satu pun.
Lain halnya dengan Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathibi, beliau merupakan salah seorang ulama klasik Islam yang menolak aplikasi sosaintis dalam Islam, khususnya dalam tafsir al-Qur`an. Menurutnya, ulama-ulama terdahulu yang terdiri dari para sahabat Rasul dan para pengikutnya (tâbi’în), merupakan orang-orang yang jauh lebih memahami al-Qur`an. Dan terbukti tidak pernah keluar dari lisan mereka penafsiran al-Qur`an yang dikaitkan dengan kedokteran, tekhnik, psikologi, ataupun disiplin ilmu lain. Itu menandakan bahwa al-Qur`an memang tidak diracik sebagai modul bagi para dokter maupun teknisi. Masih menurut Syathibi, lafadz ‘Kitab’ yang dimaksud dalam firman Allah: مافرطنا فى الكتاب من شئ adalah firman Tuhan yang masih berada di al-lauh al-mahfûdz. Bukan lafadz-lafadz yang telah direvelasikan kepada nabi Muhammad dan ditransformasikan turun-menurun hingga sampai kepada kita sekarang ini. Muhammad Husain Dzahabi, yang lebih cenderung pada pendapat Syathibi ini menambahkan, bahwa sangat besar kemungkinan orang-orang Arab dulu, ketika mendapati turunya al-Qur`an secara integral, belum memahami makna lafadz-lafadz al-Qur`an seperti apa yang dipahami oleh para penafsir saintifik sekarang ini. Sangat mustahil menurut Husain Dzahabi jika yang dimaksud ففتقنهما dalam surat al-Anbiyah ayat 30 adalah teori Big Bang. Allah tahu bahwa pada saat ayat itu turun, orang-orang belum mengenal apa itu teori Big Bang. Kemudian, jika ditilik secara keimanan pun penafsiran corak ini akan meninggalkan secuil celah kelemahan. Senada dengan Mahmud Syaltut, seorang penafsir modern yang juga menolak corak penafsiran saintifik ini, Husain Dzahabi, meyakinkan bahwa jika penafsiran al-Qur`an direlevansikan dengan teori-teori ilmiah yang berkembang, maka justru akan meninggalkan keragu-raguan dalam diri umat Islam. Hal ini karena, seperti yang diyakini publik, bahwa keberadaan teori-teori ilmiah baik dalam bidang kedokteran, astronomi, maupun kosmologi tidak pernah bersifat abadi. Sebagai contoh, pada awalnya umat manusia menganut teori evolusi Lammarck dalam ilmu biologi. Namun, setelah Darwin muncul dengan natural selection-nya, dunia beralih ke teori itu dan meninggalkan teori Lammarck. Begitu juga dengan astronomi, jika sekarang kita menganut sistem jagad raya ala Copernicus, bisa jadi besok pagi muncul teori baru ala Miqdam Makfi. Dus, jika penafsiran al-Qur`an dicocokkan dengan teori modern yang berkembang, maka ketika suatu saat teori itu berubah, umat Islam akan merasa bimbang dan ragu untuk mempercayai al-Qur`an dan Islam karena terbukti bersifat temporal, tidak permanen seperti yang dikehendaki. Syaltut menambahkan dua kelemahan penafsiran ini. Pertama, al-Qur`an bukanlah kitab suci yang diturunkan untuk memberi tahu manusia tentang berbagai disiplin ilmu lengkap beserta teori-teori ilmiahnya. Kedua, penafsiran saintifik seperti ini merupakan penafsiran yang mengabaikan i’jaz Qur`an sebagai salah satu nilai paling esensial dari al-Qur`an itu sendiri, di samping tidak diikutinya corak penafsiran ini dengan dalamnya pengetahuan agama serta intuisi si penafsir.
Nashr Hamid Abu Zayd, salah satu pemikir kontemporer yang cukup kontroversial, menilik kritik kosmologi al-Qur`an ini dari perspektif yang berbeda. Menurutnya, kelemahan paling fundamental dalam pengejawantahan metodologi saintifk dalam menafsirkan al-Qur`an adalah tercerabutnya kontekstualitas historis al-Qur`an yang justru merupakan nilai paling prinsipil untuk menentukan kebenaran interpretasi terhadap al-Qur`an. Jika ketika menafsirkan al-Qur`an manusia tidak mengindahkan keberadaan sabab al-nuzûl, bisa dipastikan kebenaran hasil penafsirannya amat meragukan. Itulah yang terjadi dalam penafsiran saintifik. Jika interpreut sosaintis berusaha menafsirkan al-Qur`an sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, maka historisitas al-Qur`an akan musnah sehingga bisa berakibat fatal. Tidak sedikit tokoh-tokoh Islam yang mengakui urgernsitas sabab al-nuzûl dalam menafsirkan al-Qur`an. Nama-nama tenar seperti Ibn Daqiqil ‘Id, Ibn Taimiyah, dan Imam al-Suyuthi kiranya mampu mewakitli suara mereka.
Aplikasi tafsir saintifik
Tentunya semua akan menjadi lebih jelas ketika diketahui wujud sebenarnya dari pragmatisme tafsir saintifik tersebut, tidak hanya berputar-putar di kubangan teoritis. Sebagai sampel, penulis mengambil bagian dari surat al-Ghasiyah yang diharapkan mampu sedikit menguak lekuk-lekuk tubuh tafsir saintifik yang terkenal aduhai itu.
أَفَلاَ يَنظُرُونَ إِلَى الإِبْلِ كَيْفَ خُلِقَتْ * وَإِلَى السّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ * وَإِلَىَ الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ * وَإِلَى الأرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
Secara historis, kumpulan ayat di atas turun sebagai respon Allah terhadap umat kafir yang tidak mempercayai kekuasaan Allah, Sang Pencipta alam ini. Unta, langit, gunung, dan bumi merupakan tanda-tanda dari tingginya kehendak dan keagungan Allah. Terlalu bertele-tele jika empat elemen ciptaan Tuhan itu dielaborasi secara mendalam. Penulis hanya ingin mengambil unta sebagai sampel yang kiranya dapat mewakili keberadaan tafsir saintifik.
Di tangan para penafsir konvensional, Allah menunjuk kepada hewan unta karena merupakan hewan yang mengakomodir seluruh manfaat hewan. Pertama, dapat digunakan sebagai media transportasi (rakûbah). Kedua, dapat dimanfaatkan air susunya (halûbah). Ketiga, dapat digunakan sebagai pengganti truk kontainer (hamûlah). Dan keempat, dagingnya dapat dijadikan sumber konsumsi manusia (akûlah). Beberapa penafsir klasik ada yang menambahkan kelebihan unta ditilik dari kuatnya unta menahan rasa haus.
Lain halnya ketika para penafsir saintifik mengamati artikulasi ayat ini. Harun Yahya sebagai salah satu ‘anggota’ kelompok penafsir saintifik ini merasa tergugah jiwa intelektualnya untuk lebih jauh mendalami apa yang dimaksud dalam ayat ini. Jelas-jelas Allah telah memakai unta sebagai contoh dalam kitab suci, pastinya terdapat banyak ilmu yang dapat ditimba dari keberadaan hewan padang pasir ini. Karena tertariknya hati dengan elaborasi lebih mendalam terhadap ayat ini, akhirnya Harun Yahya mulai mempelajari lebih jauh hal ihwal tentang unta.
Praduga Harun Yahya tidak meleset, terlalu banyak ilmu pengetahuan yang dapat diambil dari hewan unta ini jika lebih diseriusi mempelajarinya. Dalam salah satu artikelnya, Harun Yahya menyuarakan hasil penelitiannya itu yang terlihat cenderung ke arah disiplin ilmu Biologi. Beliau menjelaskan tentang karakteristik unta mulai dari jari-jari kakinya hingga ke punuknya. Sepenggal kutipan dari artikel itu:
“Kaki untuk segala jenis tanah; kakinya memiliki dua jari yang saling terkait dengan bantalan yang fleksible. Struktur yang terdiri dari empat bulatan tebal ini memungkinkan kakinya untuk bertahan dengan kuat pada tanah. Kaki-kaki ini benar-benar sesuai untuk segela jenis kondisi tanah. Kuku-kukunya melindungi tapak kaki dari kerusakan yang mungkin terjadi akibat pukulan. Lututnya dilindungi oleh suatu struktur yang disebut “callus”, yang terdiri dari kulit yang sangat keras dan tebal seperti tanduk. Ketika untak duduk di atas pasir yang panas, struktur callus ini melindunginya dari kerusakan akibat pasir yang sangat panas.
Ponok sebagai persediaan makanan; ponok unta banyak berisi lemak dan menyediakan zat makanan secara periodik pada saat kelaparan. Dengan sistim ini, unta dapat hidup selama 3 minggu tanpa air, sementara ia kehilangan 33% berat tubuhnya. Dalam keadaan keras yang sama, manusia akan kehilangan 8% berat tubuhnya namun mati dalam waktu 36 jam. Karena manusia telah kehabisan air dalam tubuhnya. ”
Dengan telaah biologis yang mendalam seperti itu, niscaya manusia akan lebih takjub dan kagum kepada Allah, Sang Pencipta unta yang begitu hebatnya. Ini merupakan salah satu sisi positif dari tafsir saintifik jika diaplikasikan secara tepat guna tanpa overlapping.
Sedikit komparasi, ada baiknya diperhatikan model penafsiran saintifik dalam objek yang lain dari ayat-ayat al-Qur`an. Kosmologi mungkin merupakan sebuah sampel yang cukup mumpuni untuk memberikan sudut pandang yang berbeda akan eksistensi tafsir saintifik.
او لم ير الذين كفروا أن السموات و الارض كانتا رتقا ففتقنهما
Potongan ayat ke-30 surat al-Anbiyah di atas pastilah mengingatkan kita pada materi Fisika yang dipelajari di bangku sekolah dahulu. Tepat sekali, terlalu benar jika diyakini bahwa ayat tersebut amat kongruen dengan teori Big Bang dalam kosmologi yang dirintis oleh Edwin Hubble, seorang astronom Amerika di tahun 30-an. Tentunya sama sekali tidak ada relasi spesial antara tahun di mana teori Big Bang itu lahir dan urutan ayat yang identik dengan teori Big Bang tersebut dalam al-Qur`an.
Dalam konteks salah satu ayat al-Anbiya ini, Thantawi Jauhari, seorang pakar scientific exegesis, jelas-jelas berusaha merelevansikan kandungan ayat itu dengan teori Big Bang yang berlaku kala itu. Mufassir ini meyakini bahwa pada awalnya, semua adalah satu, langit dan bumi bersatu sebelum adanya kehidupan. Kemudian, pada suatu waktu, Allah memecah kesatuan itu sehingga terpisah menjadi langit yang dipenuhi oleh galaksi, tata surya, hingga planet bumi yang kita tempati ini. Thantawi mensinyalir bahwa kejadian ini merupakan salah satu mukjizat Allah yang paling mendalam dan bermakna. Kemudian, kesadaran akan kebenaran ilmu kosmologi yang dikandung ayat tersebut barulah terkuak di abad 20 lantaran masih terbelakangnya ilmu pengetahuan zaman dahulu.
Senada dengan Thantawi, Dr. Wahbah Zuhaili juga mengiyakan penafsiran tekstual ayat tersebut hingga identik dengan –sekali lagi– teori Big Bang ala Hubble. Akan tetapi, beliau sedikit menambahkan embel-embel ilmiah yang menjadi pelengkap teori Big Bang itu. Wahbah Zuhaili meyakini –seperti halnya para astronom– bahwa sejatinya, matahari, bintang-bintang, dan bumi dulunya adalah satu. Benda satu yang merupakan kumpulan dari seluruh hal di dunia ini berputar dan berputar semakin kencang. Akibat kecepataan yang terlalu hiper dan kalor dari matahari yang merupakan bagian dari kesatuan ini, akhirnya kesatuan itu pecah menjadi matahari, dan sembilan planet yang mengelilinginya (venus, merkurius, mars, bumi, saturnus, yupiter, uranus, neptunus, pluto). Kesembilan planet ini memiliki garis edar terhadap matahari yang teratur dan berbeda-beda sehingga tidak akan terjadi benturan atau tabrakan antar planet. Kemudian, matahari menjadi bola cahaya yang menempati posisi sebagai sentral tata surya ini.
Tentunya, Harun Yahya juga memberikan kesimpulan persis dengan apa yang kedua ulama di atas ungkapkan. Lafadz ratq yang berada dalam ayat tersebut berarti suatu yang padu. Terminologi itu dalam bahasa Arab digunakan untuk menunjuk kepada dua zat berbeda yang membentuk suatu kesatuan. Dalam ayat ini, kedua objek itu adalah langit dan bumi yang sama-sama merupakan bagian dari satu titik atau kesatuan itu. Sebuah titik itulah yang kemudian dipecah oleh Allah sehingga meledak dengan dahsyat –seperti halnya dalam teori Big Bang– untuk kemudian membentuk struktur jagad raya yang amat teratur ini. Sekali lagi Harun Yahya menegaskan bahwa apa yang baru ditemukan oleh ilmu astronomi di awal abad 20 ini, sejatinya telah berjuta-juta kali dibacakan oleh umat Islam di dunia jauh hari sebelumnya.
Para penafsir di atas adalah ulama-ulama Islam yang hidup di abad 20 Masehi. Jika kita menilik ke turats, maka tafsir yang lebih sering muncul adalah penafsiran yang sama sekali bersebrangan dengan teori Big Bang tersebut. Ismail bin Abi Khalid menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pemisahan bumi dan langit seperti yang tertera di ayat itu adalah pemisahan masing-masingnya. Maksudnya, bumi yang asalnya satu kemudian dicerai-beraikan oleh Allah menjadi 7 bagian. Bagitu juga dengan langit yang akhirnya menjadi bertingkat-tingkat hingga tingkat ketujuh. Beda halnya dengan Ibn Abbas yang meyakini secara tekstual bahwa sebenarnya bumi dan langit memang berstu dahulunya. Kemudian Allah memisahkannya dengan angin yang kencang (bukan dengan ledakan seperti halnya teori Big Bang). ‘Ikrimah –dan disetujui oleh Thabari– justru menafsirkan ayat itu lebih beda lagi. Menurutnya, semenjak awal, langit dan bumi sudah menjadi dua bagian yang berbeda. Akan tetapi, langit masih ‘padat’ sehingga tidak menurunkan hujan, dan bumi juga masih ‘padat’ sehingga tidak menumbuhkan tanaman. Kemudian Allah yang ‘merenggangkan’ keduanya sehingga turun hujan dan tumbuh tanaman. Tentunya penafsiran seperti ini amat terlepas dan tidak sesuai dengan teori Big Bang yang berlaku di kalangan ilmuwan modern.
Sepercik kritik
Betapa indahnya lantunan penafsiran saintifk yang terrefleksikan dalam surat al-Ghasiyah di atas. Dalam aplikasi efekktif seperti ini, maka penulis memberikan apresiasi yang setingi-tingginya kepada jajaran elit para penafsir saintifik. Jelas sudah terlihat, bahwa Harun Yahya mampu mengorek nilai-nilai biologis yang begitu dramatisnya, bermodalkan lantunan sakrla dari ayat-ayat Ilahi. Ini berarti, definisi Husain Dzahabi terhadap tafsir saintifik sangat realistis. Terbukti Harun Yahya mampu menelurkan pengetahuan baru yang beangkat dari al-Qur`an. Semangat seperti ini sangat perlu untuk dikembangkan, dengan upaya keras, umat Islam pada saatnya akan mampu disandingkan bahkan mungkin melebihi orang Barat dalam paradigma intelektualitas.
Lain halnya dengan aplikasi sosaintis yang terlihat pada surat al-Anbiyah di atas. Penafsiran seperti ini mati tertembak oleh kritik yang telah tertuang di mukadimah dari ungkapan beberapa ulama Islam baik klasik maupun modern. Para penafsir saintifik bukannya memungut pengetahuan baru dari firman Tuhan ini, namun –sesuai krtik para ulama– justru mengutak-atik artikulasi al-Qur`an hingga relevan dengan teori kosmos yang ada. Prediksi para ulama akan temporalitas penafsiran ini sangatlah menjadi sebuah keniscayaan yang mengkhawatirkan. Umat Islam hanya tinggal menanti teori baru yang menggugurkan teori Big Bang hingga pada saatnya menggugurkan keimanan Islam karena temporalitas kalam Ilahi terbukti pada realita ini.
Ada sebuah kritik lagi yang perlu diketahui. Jika diamati, penafsiran saintifik terhadap al-Anbiyah di atas, muncul setelah hasil penafsirannya terlebih dahulu diketahui melalui piranti-piranti akademis non-religius. Maksudnya, Zaglul al-Najar bersama interpreut saintifik lain seperti Harun Yahya bercerita bahwa teori Big Bang sejatinya telah diungkapkan oleh al-Qur`an jauh-jauh hari sebelum orang Barat menemukannya. Malangnya, para mufassir saintifik itu tidak sadar bahwa mereka mampu mengartikan kalam Ilahi itu hingga selaras dengan teori Big Bang, setelah teori itu muncul.
Dengan kata lain, dalam surat al-Anbiyah di atas, dapat terlihat bahwa pada tafsir-tafsir klasik, tidak ada penafsir yang memaknai al-Anbiyah selaras dengan teori Big Bang. Baru setelah disiplin ilmu Fisika berkembang pesat dan telah banyak ilmuwan yang meneliti asal usul alam, mulai muncullah penafsiran terhadap surat di atas dengan artikulasi yang identik dengan teopri Big Bang. Ini berarti, muncul kesan bahwa umat Islam yang diwakili oleh para penafsir al-Qur`an selalu saja tertinggal dan hanya nebeng di tramco-tramco-nya orang Barat. Bukankah kesan ini justru akan menimbulkan dampak yang lebih negatif? Maksudnya, umat Islam –yang setuju dan mengaplikasikan teori tafsir saintifik– akan menjadi miskin Iptek karena selalu tahu setelah ‘mereka’ tahu. Jadi kerjaannya hanya mengamati perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Ketika ada teori baru yang muncul dan mendapatkan hak paten dari dunia, segera para penafsir itu berusaha mencari ayat-ayat al-Qur`an yang kemudian dapat ditafsirkan selaras dengan teori baru itu.
Epilog
Dengan penuh kerendahan hati penulis menyerahkan semuanya kepada para pembaca. Kebenaran mutlak memang tak kan pernah eksis selain di kekuasaan yang Maha Mutlak. Untuk itulah penulis tak kan pernah berani untuk memaksakan semuanya. Sekali lagi penulis menekankan, bahwa segala hal di dunia ini memiliki kadarnya masing-masing. Ketika berjalan sesuai dengan standarisasinya, maka semua beres dan tak kan pernah ada masalah. Namun, ketika diulur dan diulur lebih jauh, semuanya berantakan. Mungkin begitu halnya dengan tafsir saintifik, aplikasi tepat guna pada surat al-Ghasiyah sangat perlu diacungi jempol. Namun, menyedihkan sekali aplikasi yang overlapping pada surat al-Anbiyah di atas. Wallâhu A’lam bi al-Shawab. {}
0 Response to "Mengumbar makna sakral dengan metode saintifik"
Post a Comment