Template Baru

Sekedar Nyoba

Wah...dapet juga akhirnya template baru buat blogku. Awalnya, aku merasa bingung sama blogku ini. Di satu sisi isinya ga menarik. Dan di sisi lain, tapmilannya pun tak enak dipandang. Yah, semoga tampilan baru ini (setidaknya) bisa membuatku bersemangat untuk mengisinya dengan tulisan-tulisan. Sekarang mungkin masih sepi, tapi semoga, ke depan, aku bisa giat berlatih menulis melalui blog ini. Buat semua pembaca, maaf kalau kurang berkenan dan tak layak. Selamat Membaca!

Internasional Islamic University Malaysia

My New Study Place

Finally...I can now continue my study to master degree. Here in IIUM I hope that I can learn more knowledge and virtue. Yes, I alsoo really want to be graduate soon...so pray for me guys...

PCI NU Mesir

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Mesir

This is the official site of Nahdlatul Ulama special branch in Egypt..

Indonesia Today

Demo Anti-Mubarak di Bundaran HI Dibalas Pengusiran WNI di Kairo

Tindakan elit dan kelompok mahasiswa di Jakarta yang mencampuri urusan dalam negeri Mesir berakibat buruk. Setelah mahasiswa RI, giliran WNI diusir dari tempatnya bekerja di Kairo.

Lagi, Kekerasan atas Nama Agama

Tiga Gereja Dirusak Massa

Setidaknya tiga gereja di Temanggung, Jawa Tengah, rusak karena menjadi sasaran amuk massa menyusul kerusuhan dalam persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Antonius Richmond Bawengan di Pengadilan Negeri Temanggung, Selasa (8/2/2011).


Oleh: M. Miqdam Makfi


الدين عام إنسانى شامل, اما السياسة فهي قاصرة محدودة قبلية محلية و مؤقتة
(Muhammad Sa’d al-Asymawi)



Madinah; Antara Agamis dan Politis
Madinah ditunjuk sebagai rahim perpolitikan ala Islam yang digembor-gemborkan belakangan ini. Bahkan, al-Qur`an sebagai literatur yang paling otoritatif dalam dunia Islam pun menggambarkan dunia politik praksis Madinah ini. Ketika Nabi Muhammad Saw. masih berada di Mekah, Allah menurunkan ayat-ayat teologis sebagai amunisi Nabi untuk menyebarkan ajarannya. Sedangkan paska hijrah Nabi ke Madinah, ayat-ayat al-Qur`an ini mulai berpaling menuju hal-hal parsial dalam kehidupan umat Islam. Di sinilah mulai ramai perintah-perintah agama yang mengatur kehidupan manusia. Nikah, warisan, qishâsh, dan hukum-hukum (agama) lain mulai diterapkan oleh Nabi.

Tersohorlah Madinah sebagai kota par excellence. Ekses-ekses positif dalam kehidupan berbangsa dan berenegara Islam banyak diklaim lahir dari rahim kota suci ini. Di sinilah Nabi Muhammad Saw. membentuk sebuah peradaban kota yang tak lengang dari syariat Islam. Tata letak, desain dan struktur bangunan, hingga aturan hidup diatur sedemikian rupa agar mampu membawa dan membudidayakan sumber daya manusia yang ada untuk menjadi komunitas maju dan berperadaban. Tentunya tanpa menghilangkan nilai-nilai keislaman secara utuh. Dengan dikomandoni wahyu dari Allah yang memiliki kebenaran mutlak, Nabi Muhammad Saw. menjalankan dan mengarahkan kehidupan di Madinah dengan apik.

Hukûmah allâh, terma ini memang pantas disematkan kepada sistem politik Islam awal di Madinah. Nabi Muhammad yang menjadi amîr kala itu menjalankan dua tugas besarnya secara proporsional; menjadi utusan Allah yang bertugas menyebarkan serta mengajarkan Islam, dan menjadi pemimpin negara yang bertugas memandu kehidupan rakyatnya. Dalam kedua jabatan ini, beliau selalu dibimbing wahyu. Dua dunia di masa Nabi ini memang menyandang nama yang identik –dîn al-islâm wa al-daulah al-islâmiyyah– namun tentunya ada distingsi jelas di antaranya. Yang pertama adalah terminologi yang merepresentasikan hakikat sebuah kepercayaan kepada Tuhan. Sedangkan yang kedua adalah sistem pemerintahan yang merupakan bagian dari pengejawantahan nilai-nilai yang pertama. Yah, hanya sebuah bentuk penerapan –dari berbagai macam opsi bentuk penerapan– terhadap aturan-aturan agama.

Perjalanan menuju tatanan kesempurnaan di Madinah ini diawali dengan pendirian Masjid Nabawi. Dalam membangun masjid ini, Rasul menghadirkan seluruh rakyat dari kaum Anshar maupun Muhajirin. Dan beliaupun tidak hanya berpangku tangan laiknya seorang mandor. Beliau turun ke lapangan dan ikut membangun masjid dengan kedua tangannya. Tindakan beliau ini mampu menghadirkan sosok Nabi yang egaliter dan merangkul seluruh kalangan. Kaum Muhajirin dan Anshar pun terketuk dan ikut membantu pembangunan ini dengan ikhlas. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, karena selain mendapatkan kepercayaan masyarakat, Nabi juga mampu menghilangkan chauvinisme (kesukuan) dan membawa hawa kekeluargaan antara dua golongan ini.

Selanjutnya, rasa kekeluargaan antara Anshar dan Muhajirin ini dipererat oleh Rasul dengan berbagai aturan yang non-diskriminatif. Kedua kalangan ini disamakan oleh Rasul dalam segala aspek kehidupan. Lalu Rasulullah Muhammad Saw. melanjutkan misi Ilahi ini dengan merubah dan menetapkan aturan-aturan kehidupan baru sebagai pengganti aturan lama yang telah dipakai oleh bangsa Arab sejak masa Jahiliyah. Tentunya Islam (baca: Rasul) tidak dengan serta merta merenovasi tatanan kehidupan ini. Dengan teori step by step Islam mampu menjelma menjadi spirit kehidupan rakyat Madinah. Hukum-hukum baru yang ditetapkan oleh Rasul sama sekali logis dan tidak menyalahi fitrah kemanusiaan yang ada kala itu.

Sebuah permisalan indah dalam penetapan aturan-aturan ini adalah kisah turunnya hukum qishâsh. Kala itu, hukum Jahiliyah Arab bertutur, “Jika si seorang hamba sahaya dari kabilah A membunuh seorang hamba dari kabilah B, maka sebagai balasannya, bukan si pembunuh (hamba sahaya) yang terkena qishâsh (dibunuh sebagai balasan), namun seorang yang merdeka dari kabilah A lah yang harus dibunuh menggantikan kematian seorang hamba dari kabilah B”.
Hukum ini berlaku karena tingginya semangat chauvinisme dalam dunia Arab. Masing-masing kabilah merasa punya hak lebih dari kabilah lain. Oleh karenanya, hukum yang berkembang pun diracik agar terkesan memenangkan salah satu klan dan merendahkan klan lainnya.

Akhirnya, turunlah ayat 178 dari surat al-Baqarah. Islam menetapkan sebuah hukum yang adil bahwa si pembunuhlah yang harus dibunuh, tanpa memandang strata sosial keduanya. Dengan kacamata logika dan kemanusiaan, pastilah masyarakat Islam kala itu bersetuju dengan hukum baru ini. Ini merupakan terobosan besar dalam peradaban Arab yang dilahirkan dari rahim sistem pemerintahan Islam. Sebuah bukti bahwa Islam tak pernah kontras dengan asas kemanusiaan yang eksis.

Dus, konektivitas antara agama dan negara di era par excellence ini pun dapat dikatakan laksana kedua sisi mata uang. Keduanya berada pada ruang dan masa yang sama. Keduanya seakan tak dapat dipisahkan. Keduanya pun sama-sama memiliki kebenaran yang mutlak (baca: di bawah komando kalam transenden).


Fakta Ironis dalam Lembar Historis
Nabi pun mangkat dan tidak mengalih-komandokan tampuk kepemimpinan dwi-tunggal ini kepada siapapun. Memang, awalnya sempat terjadi cuap-cuap panas demi mengangkat pemimpin baru. Namun walhasil, setelah bermusyawarah ria, Anshar dan Muhajirin sepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai penerus Rasul dalam menggenggam kepingan uang logam ini. Yah, tidak ada masalah.

Sejatinya, penghambat keberhasilan sistem Khilafah Islamiyyah sudah dapat dilihat sejak masa Khalifah pertama ini. Di masa awal pemerintahan Abu Bakar, dapat dicatat dua sikap sebagian umat Islam yang diabaikan oleh pemerintah. Pertama, sikap apatis Sayyidina Ali, Bani Hasyim, dan Zubair terhadap pemerintahan Abu Bakar selama enam bulan hingga Sayyidah Fatimah meninggal. Kedua, ketika fenomena riddah (membangkangnya beberapa kalangan dari pemerintahan Abu Bakar) menggejolak, ada sebagian aktivis riddah yang menolak kewajiban zakat. Sayyidina Umar sempat menwarkan kepada Abu Bakar untuk bersikap sabar dan lembut kepada mereka, namun Abu Bakar menolak dan menghadapi mereka dengan cara yang tegas.

Anyway, di masa Abu Bakar ini lah pertama kalinya bentuk Khilafah Islamiyah diterapkan. City state yang bukan penjajah berubah menjadi nation state yang mulai melakukan ekspansi ke beberapa daerah. Jika di zaman Rasul, Islam disebarkan sebagai sebuah agama, maka pada masa ini Islam mulai disebarkan sebagai sebuah kekuatan. Jihad yang defensif di masa Rasul untuk menghalau serangan musuh dan mempertahankan dakwah Islam berubah menjadi jihad ofensif yang diorientasikan untuk mendapatkan daerah jajahan seluas-luasnya. Aturan-aturan sipil yang di masa Nabi masih diaplikasikan dalam lingkup lokal, dipaksakan untuk menjadi aturan formal-global yang sama sekali tidak mengklasifikasikan konstruk masing-masing wilayah teritori kekuasaan Islam.

Mendekati wafat, Abu Bakar mentitahkan Umar sebagai khalifah penggantinya. Dalam memegang tampuk kepemimpinan, Sayyidina Umar amat memperhatikan kemaslahatan rakyat. Bahkan tidak jarang beliau menafsirkan nash-nash Islam dengan kontekstual demi kesejahteraan umat. Walhasil, lahirlah beberapa inovasi dari beliau yang sekilas terkesan berbeda dengan teks-teks keagamaan. Meskipun tidak sesakral Nabi Muhammad, namun posisi beliau sebagai orang nomer satu di dunia Islam kala itu amat dihormati. Oleh karenanya tidak ada konfrontasi berlebihan yang merespon keputusan-keputusan beliau. Di sisi lain, kebijakan-kebijakan ini lebih bersifat lokal dan temporal sehingga tidak melibatkan terlalu banyak masyarakat.

Sayang, sistem Khilafah ala Umar ini juga tidak luput dari masalah. Beliau mangkat karena dibunuh. Pembunuhan Khalifah ketiga oleh seorang Nasrani bernama Abu Lu`lu`ah ini disinyalir merupakan respon rakyat terhadap krisis moneter kala itu. Tiga hari sebelum pembunuhan, Abu Lu`lu`ah menemui Sayyidina Umar dan memohon belas kasihannya. Ia berharap sang pemimpinnya ini dapat memahami kebutuhan finansial yang dideritanya. Namun setelah berpikir, Sayyidina Umar memutuskan untuk tidak memberi bantuan ekonomi padanya. Tiga hari setelahnya Abu Lu`lu`ah masuk ke dalam masjid dan tanpa banyak bicara menusukkan pisaunya ke tubuh Sayyidina Umar.

Sebuah fakta menyedihkan lain terjadi di masa Umar. Karena terlalu sibuk dengan urusan “jajah-menjajah” (baca: jihad), umat Islam banyak yang tidak sempat mempelajari al-Qur`an, sebuah referensi paling primer bagi seluruh Muslim. Di tahun 15 H/636 M, Sayyidina Umar menggelar lomba penguasaan al-Qur`an antara para prajurit. Yang disayangkan, salah satu prajurit ada yang ditanya tentang al-Qur`an dan dia mengaku tidak pernah tadabbur dan merenungkan ayat-ayat al-Qur`an sama sekali. Seorang lainnya malah jujur berkata bahwa dia hanya paham dan hapal lafadz bismillah dalam al-Qur`an. Tidak yang lain. Ironis sekali.

Jika Abu Bakar diangkat dengan musyawarah Anshar-Muhajirin, lalu Umar diangkat dengan titah Abu Bakar, maka Utsman muncul dari keputusan ahl al-hal wa al-‘aqd. Salah satu kegagalan pemerintahan ini adalah di kala Sayyidina Utsman berencana membukukan al-Qur`an menjadi al-mushaf al-rasmi. Yah, berangkat dari chauvinisme Arab itulah dialek Quraisy menang dan menjadi aturan baku penulisan al-Qur`an. Bukan dialek lainnya. .

Pada moment kodifikasi ini pula, ada sebagian kalangan Muslim yang merasa kecewa karena riwayat al-Qur`an miliknya tidak dimasukkan ke dalam mushaf. Tentunya kekecewaan yang hadir dari kalangan minoritas kala itu lagi-lagi tak guna untuk disuarakan. Namun pada babak-babak sejarah berikutnya, fakta membuktikan bahwa arogansi pihak-pihak ini mulai muncul. Seakan-akan mereka ingin mengubah isi mushaf ‘utsmani dan atau membuat al-Qur`an sendiri.

Klimaks problem politik masa ini adalah tatkala Sayyidina Utsman dicurigai melakukan kejahatan politik –khususnya nepotisme– lalu kemudian dibunuh. Kabar yang paling masyhur dalam sejarah Islam konvensional adalah bahwa provokator pembunuhan ini tak lain ialah Abdullah ibn Saba`, seorang Yahudi yang masuk Islam di masa Utsman. Memang, tuduhan-tuduhan nepotisme Utsman ini sudah terlalu sering disangkal oleh ulama. Namun yang lebih penting untuk dijadikan i’tibâr adalah efek dari chauvinisme yang ada di Islam Quraisy. Karena menganggap problem pemerintah sudah terlalu akut, dan merasa ada kesempatan untuk mengambil alih tampuk kepimpinan dari klan Quraisy, akhirnya kelompok oposan Mesir pun mengambil sikap. Dan terjadilah pembunuhan politis untuk pertama kalinya dalam sejarah negara Islam.

Sayyidina Ali kemudian tampil sebagai pemimpin baru. Pengangkatannya mungkin yang paling demokratis dalam pemerintahan Islam. Beliau dipilih oleh khalayak umum. Walau begitu, ada sebagian kecil yang walk out dan enggan mengangkat Ali. Kalangan pembelot ini menjadi ancaman tersendiri bagi kekuasaan Ali di waktu-waktu setelahnya. Terlebih, kelompok yang sebagian besar adalah mantan bawahan setia Sayyidina Utsman ini tetap bermukim di Madinah sebagai pusat kota Islam kala itu. Di sisi lain, Muawiyah selaku pemimpin Bani Umayah dan beberapa tokoh lain merasa kecewa ketika kepemimpinan diambil oleh klan Bani Hasyim. Cekcok antar kabilah ini dan keberadaan kelompok pembelot tadi lah yang menjadi pemicu utama resah serta kerasnya perjalanan Sayyidina Ali dalam memimpin umat Islam.

Kaum oposisi Ali tersebut mulai menggulirkan propaganda-propaganda yang merapuhkan posisi Ali. Suasana politik semakin memanas ketika Thalhah dan Zubair di satu sisi dan Muawiyah di sisi lain mengadakan konfrontasi militer dengan Sayyidina Ali. Perdebatan politik awal yang tumbuh antara kaum Anshar vis a vis Muhajirin ketika pengangkatan Abu Bakar, diteruskan dengan perdebatan sukuisme di mana satu pihak merasa Bani Hasyim yang harus memimpin, lalu pihak lain mengakui kepimpinan dari Bani apa saja asal masih suku Quraisy, kemudian dilanjutkan dengan pendapat paling egaliter yang mengatakan tidak ada perbedaan antara seluruh umat Islam yang ada, akhirnya meruncing dan meledakkan peristiwa tahkîm, atau sering disebut arbitrasi.

Arbitrasi ini memberikan dampak yang luar biasa. Bentuk khilafah yang diimani oleh umat Islam sebagai representasi kekuatan leglisatif, eksekutif, sekaligus yudikatif agama, begitu saja dirubah menjadi bentuk kerajaan monarki. Al-inqilâb min al-khilâfah ilâ al-mulk, demikian Ibn Khaldun menyebutnya. Ia juga mengiyakan bahwa (lagi-lagi) chauvinisme menjadi dalang utama dalam sejarah dunia Islam di masa-masa ini. Bahkan, Umar ibn Abd al-Aziz, khalifah dari Bani Umayah yang terkenal paling mulia dan prestisius, tidak mampu melawan gelombang kesukuan yang membahana. Jikalau tidak harus diteruskan oleh keturunan Muawiyah, pastilah Umar ibn Abd al-Aziz mengusulkan dan mengangkat al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar sebagai khalifah setelahnya.

Muak dengan kedzaliman Bani Umayah dalam memimpin imperium Islam, utamanya dengan slogan politik Bani Umayah untuk meng-subordinasikan bangsa non-Arab, akhirnya klan Abbasiyah pun merebut tongkat kekuasaan. Perhelatan politik yang panjang di masa ini dan seterusnya jauh lebih hebat, dan kiranya tak perlu penulis ungkapkan di sini. Hanya satu hal yang ingin penulis tuturkan melalui cerita ini; ternyata, Khilfah Islamiyyah sudah menuai polemik sedari lahir.


Khilafah Islamiyyah; Isu Utopis

Sejarah telah bertutur, dan manusia sebagai pembacanya pun dituntut untuk menuai ‘ibrah dan pelajaran. Khilafah Islamiyyah terbukti polemis dan problematis. Al-Madînah al-Fadhîlah par exellence yang layak diaplikasikan hanyalah di masa Nabi. Dan mustahil menerapkan sistem pemerintahan religius-teosentris seperti kala itu.

Bentuk imperium Islam seperti dulu sudah tidak mungkin direalisasikan di masa kekinian karena bentuk itu –model imperium yang terus memperluas kekuasaannya dengan ekspansi dan ekspansi– telah ditolak secara mutlak oleh seluruh bangsa. Satu-satunya bentuk negara Islam yang masih bisa diharapkan adalah nation state. Arab Saudi sebagai negara teritorial yang membawa panji Islam sebagai ideologi dan prinsip hukum negaranya adalah sampel yang bisa dikaca untuk menggambarkan betuk nation state ini. Namun agaknya ia bukanlah sampel yang ideal, karena selain terbentuk dalam konstruk monarki-absolut yang Wahabian sentris –yang tentunya bukan gambaran ideal sebuah Islam yang egaliter dan akomodatif, warga sipil di Arab Saudi juga masih terlalu homogen. Wajar jika pemerintah dapat “membohongi” rakyatnya dan membentuk kekuasaan teosentris.

Akhirnya, penulis ingin menyampaikan beberapa hal yang mungkin bisa menyadarkan para pendukung bentuk islamic nation state ini:
1. Seperti yang penulis uraikan di awal tulisan, Rasulullah adalah manusia sempurna yang berjalan di bawah komando Tuhan. Kesempurnaanya –yang akhirnya berujung pada kebenaran mutlaknya yang tak mungkin didebat– murni tidak dapat diikuti oleh siapapun.
2. Fakta historis membuktikan, bahkan di masa Khulafa al-Rasyidin yang paling dekat dengan masa kenabian, perpecahan acap kali terjadi. Perkhilafan kala itu masih minim, namun problematika sudah meruyak muncul. Lalu bagaimana dengan kondisi sekarang ini?
3. Menghormati kebebasan beragama adalah konvensi internasional, namun membatasi perilaku agama merupakan sebuah kenaifan. Rakyat Syi’ah akan protes jika pemerintahnya orang Sunni. Bangsanya Syafi’i akan marah jika fikih pemerintah adalah Hanafiyyah. Masyarakat moderat dan fundamentalis pun akan naik pitam jika pihak liberal yang menjadi penguasa. Yah, yang lain akan marah jika sang pemimpin menerapkan hukum Islam sesuai kepercayaannya sendiri. Apalagi yang non Muslim?
4. Multikulturalisme merupakan bias kehidupan yang menjelma menjadi sebuah keniscayaan. Chauvinisme yang digugu dan dijadikan semangat hidup umat Islam di bawah panji khilafah Islamiyyah kini telah digantikan dengan nasionalisme. Pun imperium-kolonialis telah dikubur dan dihadirkan pola kedaulatan-teritorial untuk menggantikannya.
5. Secara literal, tidak ada teks agama yang mewajibkan sistem pemerintahan Islam, Khilfah Islamiyyah. Sumber-sumber yang paling sering diinterpretasikan sebagai dalil pendapat ini adalah kewajiban untuk mematuhi seorang pemimpin. Padahal, ketika ragu dengan keputusan pemimpin, maka umat Islam dituntut untuk mengembalikan kasus itu kepada pandangan Hadits dan al-Qur`an. Lalu pemahaman Hadits dan al-Qur`an versi siapa yang akan dimenangkan?
6. Substansi lebih penting daripada tampilan fisik. Maka, nilai-nilai Islam pun lebih krusial tinimbang bentuk negara Islam. Fenomena Islam KTP yang merebak secara khusus, dan penilaian miring dunia internasional terhadap Islam secara umum, harus terlebih dahulu diperbaiki sebelum membincang permasalahan teknis seperti Khilafah Islamiyyah.

Dan tentunya masih terlalu banyak sisi-sisi mustahil yang menolak kemungkinan berhasilnya sebuah sistem politik yang menggunakan nama agama sebagai dasar ideologinya. Namun, sebuah keputus-asaan tak seharusnya menjadi hasil akhir. Rakyat Islam masih bisa unjuk gigi di hadapan dunia internasional dengan menggunakan simbol kenegaraan. Tentu bukan bentuk negara religius. Namun sebuah bentuk negara yang sama sekali tidak berbaju agama di satu sisi, dan menyajikan keberhasilan di sisi lain. AKP Turki mungkin bisa dijadikan rujukan utama dalam mengemban misi ini.


AKP; Benar-benar Nasionalis
3 November 2002 merupakan hari bersejarah bagi Turki. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP-Adalet ve Kalkinma Partisi) meraih suara terbanyak dalam Pemilu kala itu. Banyak masyarakat Islam yang menganggap kemenangan partai ini sebagai salah satu bukti berhasilnya pemerintahan Islam modern dalam memimpin negara. Terlebih setelah prestasi demi prestasi diraih oleh AKP belakangan ini. Bagi penulis, ini salah kaprah. AKP memang jenius dan terbukti berhasil. Penulis sepakat. Namun AKP bukanlah kekuatan Islam konservatif seperti yang dipahami. Ia tidak dapat dijadikan sokongan dan legitimator bahwa Khilafah Islamiyyah masih relatif.

Mustafa Kamal Ataturk membebaskan Turki dari jejaring Utsmaniyyah pada tahun 1924. Niatan membangun negara sekuler menggantikan Khilafah Islamiyyah adalah niatan yang sungguh mulia dan diapresiasi penuh oleh masyarakat. Sayang, konsep sekuler ini menjadi bumerang karena diterapkan tidak sebagaimana mestinya. Sekulerisme Turki tidak memisahkan negara dan agama, namun mendominasikan negara terhadap agama. Praktik sekuler radikal ini akhirnya luluh di tahun 1946 ketika Partai Demokrat mewarnai panggung leglisatif. Bahkan terhitung sejak 1950 hingga 1960, Partai Demokrat memegang suara terbanyak dan menguasai kursi pemerintahan. Tongkat estafet demokrasi ideal ini diteruskan oleh Partai Keadilan hingga 1970.

Sayang, kesejahteraan Turki berjalan amat singkat. Awal dekade 80-an, pesta politik di Turki menjadi ramai bukan main. Berbagai aliran politik mulai muncul, termasuk kalangan Islam radikal yang dikomandoni oleh Necmettin Erbakan dengan Partai Islam Refah-nya. Dengan bermodalkan prinsip Islam fundamentalis, perjuangan Erbakan ini akhirnya menuai kemenangan di Pemilu lokal tahun 1994 dan Pemilu nasional pada tahun 1995. Sejak inilah kekuatan Turki melemah dan berbagai problematika negara muncul. Erbakan dengan Khilafah Islamiyyah-nya terbukti tidak mampu membawa Turki kepada kemajuan. Sikap anti sekuler-demokratisnya berujung pada pertempuran Islam vis a vis militer yang mengakibatkan Kudeta Putih di tahun 1997. Setahun setelah Erbekan turun dari posisi Perdana Menteri dan dilarang mengikuti aktivitas politik, Partai Refah pun dibubarkan.

Sejak ini, kekuasaan sekuler radikal seperti yang diterapkan Ataturk kembali muncul dengan komando pihak militer. Menyadari ekstrimisme militer dalam memegang kekuasaan, sebagian masyarakat Islam –yang masih fanatik dan kolot dengan kekuatan Islam konservatif milik Erbakan– hendak kembali merebut tampuk kepemimpinan di bawah bendera Partai Islam Fadhilah. Namun sejarah telah menjadi referensi primer masyarakat Turki hingga mereka pun enggan mendukung pertai pimpinan Rucai Kutan ini. Malah, belajar dari pengalaman, sebagian aktivis Partai Fadhilah merasa harus membuka gerbang paradigma liberal dalam Islam. Dengan Recep Tayyip Erdogan sebagai pengawalnya, mereka memecahkan diri dari Partai Fadhilah dan membentuk AKP –yang kemudian menang di Pemilu 2002. Sedangkan golongan tua yang kolot bertahan dan merubah nama partainya menjadi Partai Saadet, tetap dengan Rucai Kutan sebagai penggeraknya.

Hanya dalam hitungan tahun, AKP mampu menjelmakan Turki menjadi negara yang layak diperhitungkan. Sektor ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya perlahan membaik. Sedari awal berdirinya, AKP memang tidak membawa nama Islam dalam kegiatan formalisnya. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi sasarannya pun bukan aspek-aspek keislaman. AKP hadir sebagai sebuah parta sekuler-demokratis yang menghargai kebebasan bertindak dan berpihak. AKP mencabut larangan berjilbab dan larangan pendirian masjid yang ditetapkan oleh pihak militer saat Kudeta Putih, namun AKP tidak menghukum masyarakat yang tidak sembahyang lima waktu. AKP tidak membatasi kegiatan beragama masyarakat, namun justru menghargainya. Konsep dominasi negara terhadap agama yang diterapkan oleh sekulerisme ala Ataturk direkonstruksi menjadi (benar-benar) pemisahan negara dari unsur-unsur religius. Pun sebaliknya, pemisahan agama dari isu-isu konstitusional. Bukan hegemoni yang satu terhadap lainnya.


Akhir Analisis
Indonesia, misalnya, seperti dijelaskan oleh Yusril Ihza Mahendra, terbukti sebagai negara demokratis yang titik sekulerismenya berada pada sebuah balance yang amat tepat. Negara tidak akan menjadi dominan di hadapan agama. Namun agama juga tidak akan cuek bebek dengan hukum-hukum agama yang berkembang di masyarakat. Pada kasus-kasus hukum publik, syariat Islam, aturan gereja, hukum adat, bahkan hukum Belanda (waktu menjajah Indonesia) sekalipun, bisa menjadi determinan untuk membetuk unifikasi hukum. Perzinaan misalnya, dalam hukum publik-nasional Indonesia, didefinisikan sebagai hubungan seksual di luar nikah, titik. Definisi ini jelas-jelas terpengaruh oleh syariat Islam yang ada. Padahal, hukum Belanda yang berlaku sebelum kemerdekaan mendefinisikan perzinaan –seperti halnya definisi zina menurut gereja Katolik– sebagai hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan pasangan, dengan catatan, salah satu atau kedua-duanya memiliki hubungan pernikahan dengan orang lain. Ini berarti, dua sejoli yang sedang pacaran dan terbukti melakukan hubungan seksual, tidak dipandang sebagai sebuah perzinaan karena tidak ada satupun dari keduanya yang sedang memiliki ikatan perkawinan dengan orang lain.

Unifikasi dalam definisi perzinaan ini akhirnya menghasilkan hukum nasional yang identik dengan hukum dalam Islam. Bukan hukum gereja Katolik yang diadopsi Belanda di masa kolonialisme. Begitu juga halnya dengan hukum adat, hukum warisan Belanda, hukum agama lain, serta sumber-sumber hukum lain yang telah ada. Pemerintah menjadikannya pertimbangan tersendiri untuk menghadirkan hukum publik yang sesuai dengan psikologi serta kondisi masyarakat Indonesia. Sebuah sikap akomodatif yang sempurna.

Sedangkan dalam hukum-hukum individualis, negara menghormati aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat tanpa intervensi. Shalat lima waktu tidak dirubah menjadi enam atau tujuh waktu. Pun hukum fardhu ‘ain-nya tidak dirubah menjadi sunnah atau makrûh. Jika memang disepakati, maka dalam beberapa hukum publik pun, pemerintah tetap bisa menerapkan hukum publik yang dipercaya oleh sebuah kalangan. Tentunya hukum ini nantinya akan diterapkan dalam kalangan itu sendiri, bukan yang lain. Dan tentunya, penerapan ini harus diaplikasikan secara prosedural-konstitusionalis seperti halnya perda-perda Syariat Aceh yang telah disahkan. Bukan dengan cara radikal-personal tanpa ijin.

Satu hal yang patut ditekankan, bahwa sekulerisme ini bukan berarti memisahkan agama dan negara sama sekali. Sekulerisme demokratis ini berarti, negara tidak mengganggu permasalahan agama, namun sebaliknya, justru menghargai dan memfasilitasi. Ketika umat Islam ingin haji, negara menyiapkan urusan administrasinya. Ketika warga ingin mewariskan hartanya dengan cara Islam, diperbolehkan. Ingin mewariskannya dengan adat Sunda, dipersilahkan.

Akhirnya, penulis hanya ingin menegaskan bahwa sekulerisme demokratis adalah terobosan politik yang (dapat dikatakan) berhasil di masa ini, sebagaimana sistem teosentris berhasil di masa par exellence. Indonesia membuktikan hal itu. AKP Turki juga terbukti berhasil. Tinggal umat Islam, beranikah berkembang bersama orang lain di bawah payung demokrasi yang akomodatif? Atau lebih memilih berjalan di tempat?[]



0 Response to "Islam Politis; Sekedar Upaya Kritis"

Post a Comment

About Me

My photo
Yunani memiliki Peradaban Nalar, Arab-Islam punya Peradaban Teks...Mungkin, diriku ini sedang terhanyut dalam Peradaban Imajinatif