Oleh: M. Miqdam Makfi
Sejak 1955, kala Pemilu pertama diadakan di Indonesia, demokrasi Pancasila resmi menjadi ideologi politik Tanah Air. Rakyat Indonesia kala itu tentram dan puas karena para pemimpin negaranya dipilih dan diangkat oleh rakyat sendiri. Kedaulatan rakyat, seperti termaktub di batang tubuh UUD 1945 pasal 1, benar-benar mengencani perjalanan politik di Tanah Pertiwi.
Keintiman rumah tangga ini mulai dirusak ketika orde baru naik menjadi pengatur negara, dipimpin oleh Bpk. Suharto. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa peran beliau dalam membantu kemerdekaan amatlah mulia. Bahkan, niatannya ketika menjabat jadi Presiden pun tidak dapat dikatakan negatif. Namun manusia tetaplah manusia. Hingga Pak Harto pun tak luput dari problematika individual-psikologis ketika menjadi Presiden RI.
Jika diamati, problematika politik Indonesia –dalam ketidaksadaran bangsa– mulai lahir di masa-masa Orba. Bisa jadi, sofistifikasi politik –salah satu problem inti yang kemudian dikesankan menjadi simplifikasi politik oleh rezim Orba dengan hanya membentuk 3 Parpol pada bentang 1977-1997– adalah kelatahan Indonesia terhadap gelombang ketiga demokrasi dunia kala itu. Samuel P. Huntington telah mengkisahkan bahwa gelombang ketiga demokrasi ini muncul sejak revolusi Portugal di tahun 1974. Terhitung 60 negara dari Afrika, Eropa, Amerika Latin, dan (tentunya) Asia latah dan mengikuti arus gelombang ini. Para pengamat politik berasumsi bahwa ini bukan hanya kelatahan dalam dunia demokrasi an sich. Namun kelatahan ini meruyak hingga unsur ‘terpimpin’ dalam sistem demokrasi itu. Maka di dekade 80-an, menjamurlah negara-negara demokrasi terpimpin seperti Mesir dengan Husni Mubarak-nya, Paraguay dengan Alfredo Stroessner-nya, Philipina dengan Ferdinand Marcos-nya, Sudan dengan Umar Hasan al-Bashirnya, Indonesia dengan Pak Suharto-nya, diikuti negara-negara lainnya.
Indonesia pantas bersyukur karena dengan suatu hal dan lainnya, demokrasi terpimpin Suharto dapat digugurkan menjelang milenium ketiga. Walhasil, demokrasi Pancasila kembali dihadirkan menggantikan demokrasi terpimpin milik Orba. Kini, rakyat yang memiliki wewenang untuk menentukan jalan hidup Indonesia.
Pemilu 2009 semakin dekat. Maka rakyat Indonesia pun kembali diajak bermusyawarah menentukan nasib bangsa. Bukan hanya mereka yang ada di Tanah Air, namun kita yang hidup di luar negeri pun dihargai dan diberi hak untuk ikut menentukan arah jalan bangsa Pertiwi. 38 Parpol yang terdaftar diharapkan mampu membawa Indonesia menuju tatanan yang lebih baik. Dengan jumlah yang tidak sedikit ini, rakyat memang dituntut untuk lebih jeli mengkualifikasi Caleg dan Parpol yang ada. Bukan dengan ketenaran belaka. Apalagi dengan sodoran amplop yang ditawarkan. Rakyat Indonesia telah berumur 63 tahun lebih. Bukan lagi anak kecil yang dengan mudah bisa dibohongin. Namun seorang dewasa yang mampu berpikir jernih untuk menentukan keputusan.
Akhirnya, penulis hanya ingin menegaskan bahwa satu hak pilih yang kita punya adalah satu titik dari garis start Indonesia untuk melangkah ke depan. Dan iya, sebuah garis tak kan pernah lengkap tanpa kelengkapan titik-titik yang menyusunnya. Jika kita memang yakin bahwa tidak ada satu pun Caleg dan Parpol terbaik untuk dipilih, maka kita tetap harus gengsi jika Indonesia dipimpin oleh Caleg dan Parpol yang terburuk. Ke mana Indonesia melangkah? Siapa yang akan membimbing bangsa kita? Temukan jawabnya pada diri kita masing-masing! Diri kita sebagai bangsa Indonesia tentunya, bukan yang lain.[]
0 Response to "Pesta Demokrasi"
Post a Comment