Oleh: M. Miqdam Makfi
Aktualitas Timur Tengah belakangan ini, khususnya dalam koridor politik dan ideologi agama makin memanas hingga mampu membelalakkan bola mata punggawa-punggawa besar dunia untuk terus memantaunya. Kaitannya dengan politik Amerika dan sekutunya tentu menjadi catatan tersendiri bagi para pengamat kajian Timur Tengah untuk ikut berempati dalam mengawasi situasi ini. Dilandasi realita inilah penulis ingin mencoba untuk sedikit membuka topeng politik Timur Tengah yang didominasi oleh nalar-nalar Arab dan juga wajah asli politik Amerika dan sekutunya yang memang telah lama menjadi musuh abadi beberapa negara Timur Tengah.
Mungkin kawasan Timur Tengah memang terlalu luas dan kompleks untuk dimengerti, namun, identitas Islam yang sebenarnya tidak dapat dijadikan jiwa tunggal Timur Tengah telah dicap oleh Amerika sebagai biang keladi kerusuhan sengit yang terjadi belakangan ini. Untuk itulah, sebagai upaya penggalian fakta yang objektif dan fokus, penulis hanya ingin mencermati kaitan politik Arab-Islam dan Amerika yang ternyata menjadi indah diamati ketika dimunculkan dengan sudut pandang yang berbeda.
Berangkat dari turunnya sebuah agama bernamakan Islam di pelosok Arab, dengan sosok Muhammad sebagai panutan, nalar politik Islam mulai tersedimentasikan sedikit demi sedikit, terlebih sejak otoritas Rasul yang merajalela hingga aspek politik setelah hijrah ke Madinah. Pada dasarnya, prinsip politik yang diusung oleh tokoh nomer wâhid Islam ini cukup merakyat. Entitas musyawarah, keadilan, egalitarianisme, serta persamaan hak yang dikolaborasikan dengan kultur lokal amat mampu diterima masyarakat. Keberhasilan dalam mengampu rakyat dengan damai hingga tidak memberi kesempatan kepada sebuah problematika politik yang dijaga Rasul selama 10 tahun di Madinah patut dijadikan catatan agung dalam lembaran histori politik dunia.
Sepeninggal beliau, empat tokoh besar Islam yang tergabung dalam nomeklantur Khulafâ` al-Rasyidîn berusaha untuk tetap menegakkan konsep politik rakyat (otoritas di tangan rakyat). Walaupun pengangkatan Abu Bakar menuai banyak konflik, terutama dari kalangan bani Hasyim, namun mau tak mau, suksesi tersebut tetap layak dikukuhkan sebagai pemilu perdana Islam.
Estafet kekuasaan ‘agama’ ini (sepertinya kata-kata politik lebih pantas), dilanjutkan oleh dinasti Umayah. Sistem teokrasi turun temurun ala Muawiyah Cs. jelas lebih otoriter dibandingkan sistem khilafah. Bahkan Muawiyah sendiri mengakui bahwa tonggak kepemimpinannya itu diperoleh bukan karena kecintaan dan kerelaan rakyat, namun lebih karena keberhasilan klan pemimpin baru itu dalam sebuah peperangan yang mempertaruhkan terma arbitrasi. Namun setidaknya, Muhammad Abied al-Jabiri telah membuktikan bahwa kala itu, kendati ada kesan absolutisme kekuasaan, dinasti Umayah masih berbaik hati dengan memberikan kebebasan politik bagi rakyatnya. Umat Islam dilegalkan untuk angkat suara (bukan angkat senjata) setinggi-tingginya demi menentang pemerintah.
Kebebasan bersuara yang diusung oleh dinasti Umayah ini rupanya mendapat respon realistis dari berbagai pihak. Muktazilah, salah satu komplotan ideologis yang muncul di masa itu, dengan konsep qadariyyah-nya, menjadi salah satu musuh politik terbesar dinasti Umayah yang melegitimasi hedonisme pejabat dengan konsep fatalistiknya. Beberapa kalangan mencermati bahwa agresivitas madzhab ini amat berperan dalam kesuksesan revolusi Abbasiyah, tentunya di samping bantuan kekuatan Syiah, pendukung Persia yang kala itu merasa dimarginalkan dinasti Umayah.
Endapan-endapan nalar politik Arab-Islam yang telah berlapis-lapis itu dipungkasani oleh pemerintahan Abbasiyyah yang jelas-jelas mendirikan teokrasi ala Islam. Ibn Muqaffa dengan 3 buku populernya (al-Adab al-Shagîr, al-Adab al-Kabîr, dan Risâlah al-Shahabah) serta imam al-Mawardi dengan fikih politiknya (fikih politik beliau hanya merumuskan dua perkara; kewajiban mendirikan sebuah kepemimpinan dan kewajiban untuk menaati pemimpin) kiranya sudah lebih dari cukup untuk dijadikan referensi kemutlakan kekuasan pemimpin yang dianggap titisan Tuhan di era ini.
Di atas sedimentasi-sedimentasi di mana epistema politik terluarnya merupakan sebuah otoritas tunggal inilah nalar Arab-Islam berkembang hingga sekarang. Hasilnya? Di balik topeng-topeng mereka yang sok demokratis, ternyata mereka masih menyimpan absolutisme tersebut.
Mesir, negeri Kinanah kita huni ini kiranya bisa dijadikan sampel akan sebuah otoritas penguasa. Secara legal-formal, Negara ini memang dapat dikatakan sebagai negara sekuler. Pemilu berkala untuk memilih presiden baru tentunya bisa dijadikan sebagai cermin para pengamat bahwa demokrasi di Mesir cukup dihormati. Akan tetapi, realita membuktikan bahwa sistem demokrasi itu hanya sekedar pembungkus belaka. Husni Mubarok, presiden sekarang, tidak lebih baik dari seorang Suharto yang pernah dikenal oleh rakyat Indonesia. Pemilu seakan-akan hanyalah sebuah formalitas untuk kembali memilih pemimpin yang sama. Selama kekuatan politik oposan belum terkumpul layaknya para demonstran reformasi di Indonesia, tentunya kepemimpina Husni Mubarok juga tak akan pernah tergantikan.
Juni lalu, negara-negara Liga Arab mengadakan konferensi internasional di Kairo yang mengagendakan penggalakkan demokrasi di Timur Tengah. Takutnya, ini juga hanya merupakan sebuah topeng baru untuk melindungi otoritarianisme penguasa di Timur Tengah. Negara-negara Teluk yang berbentuk kerajaan tentunya sudah pasti menjadikan penguasa sebagai pemiliki kekuasaan tunggal. Pemerintah dan jajaran militer di negara-negara sekuler seperti Mesir rupanya juga telah mengkondisikan rakyat untuk tidak menyarakan aspirasi yuang bertentangan dengan penguasa. Penulis mencatat, hanya Tunisia, Iran, dan mungkin Maroko yang dapat dikatakan telah sedikit berhasil mengaplikasikan konsep demokrasi dengan benar.
Di sisi lain, Amerika Serikat sebagai musuh besar yang terus membayangi Timur Tengah juga tidak lebih baik dari mereka. Amerika muncul sebagai negara adikuasa yang seolah-oleh ingin memberikan jaminan kedamaian bagi masyarakat dunia. Di kancah PPB sebagai organisasi terbesar sedunia, Amerika juga meneriakkan slogan demokrasi dan penghormatan terhadap human rights di dunia. Kenyataannya, terhitung selepas Perang Dingin dulu, Amerika mulai melancarkan invasi-invasi kepada negara-negara lain. Tidak dapat disangkal jika mereka memang menghajar negara-negara itu dengan berlandaskan pada dasar-dasar yang cukup masuk akal, namun, harus diakui bahwa dengan invasi teersebut, mereka berarti telah merusak HAM yang sebenarnya mereka koar-koarkan. Tentunya demokrasi, kedamaian, dan hak-hak manusia ini juga hanyalah sekedar topeng untuk menutupi kekejaman mereka.
Melihat indikasi-indikasi seperti ini, penulis khawatir kedamaian yang telah ramai digunjingkan dan diinginkan oleh pelbagai pihak tidak akan pernah terrealisasikan. Kesadaran seluruh pihak untuk segera berterus terang dan berembug bersama dengan telanjang muka haruslah benar-benar ada. Fanatisme otorianisme Timur Tengah dan kapitalisme Amerika harus dibuang terlebih dahulu. Dengan begini, harapan untuk menikmati fajar esok hari akan selalu terbuka lebar bagi seluruh penghuni kolong langit ini.[]
tes doang