Oleh: M. Miqdam Makfi
Berbicara tentang Islam Nusantara pastinya akan menyentuh ranah sejarah karena memang Islam hadir dan meluap di tanah air melalui pijakan-pijakan historis. Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck Hurgronje menjelaskan bahwa pada abad 12-13 Masehi (awal Islam di Indonesia), tidak ditemukan unsur-unsur Arabisme dalam tubuh Islam Indonesia. Pada masa-masa ini pula hubungan Indonesia dan India terkesan romantis. Oleh karenanya Snouck berkeyakinan –dan diimani oleh para sejarawan Barat hingga kini– bahwa Islam hadir di Indonesia berkat kiprah bangsa India sebagai mediatornya.
Di sisi lain, beberapa kalangan yang menelusuri jejak Islam Nusantara mengocehkan bahwa Islam Indonesia merupakan Islam Persia yang masuk sekitar abad 13 Masehi melalui kekuasaan kerajaan Samudra Passai. Ini disandarkan pada realitas sejarah kala itu yang mengisahkan keidentikan ritual agama di Indonesia dengan Persia.
Ternyata benang ruwet ini tidak berhenti begitu saja, pendapat yang justru lebih dikuatkan adalah yang mengatakan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad ke 7 (awal abad hijriyah). Kedatangan Islam ini tak lepas dari pengaruh hubungan liberal China dengan Arab. Dalam kitab sejarah China yang bertajuk Chiu T’hang Shu diumbar bahwa pada tahun 651 M/31 H, China kedatangan duta utusan dari Arab. Padahal, seperti diketahui bahwasanya pada masa-masa ini, Nusantara cukup terkenal dimata dunia, khususnya dalam bidang perdagangan. Untuk itu, kemungkinan sangat besar para duta Arab yang dikirim ke China terlebih dahulu mampir di Indonesia sebelum kembali ke Arab. Hal ini dikuatkan dengan catatan sejarah yang penulis temukan dari tulisan Azyumardi Azra, bahwa pada tahun 671 Masehi, kunjungan I-Tsing dari China ke pelabuhan Sribuza (Sriwijaya) mencatat kehadiran orang-orang Arab dan Persia di Indonesia.
Dari sini, hubungan diplomasi Indo-Arab (Islam) yang dijembatani oleh China menjadi semakin tersemai. Bahkan, pada tahun 718 M/100H, Sri Indavarman (raja Sriwijaya kala itu) sempat mengirimkan surat kepada khalifah terkemuka, Umar bin Abdul Aziz untuk meminta utusan dari Arab yang dapat mengajarkan Islam di Indonesia. Akhirnya, perawaban Islam di Indonesiapun mulai terbentuk dan menggantikan hegemoni Hindu-Budha yang sudah ada sejak dulu.
Terlepas dari asal usul kelahiran Islam di Nusantara, terlintas kata sepakat ketika ada kesimpulan bahwa Islam hadir bukan dengan dakwah formalis, namun justru dengan perangkat lain seperti perdagangan. Pun penyebaran Islam di Indonesia dan sekitarnya, lebih terkesan kultural, tidak puritan, sehingga mampu mendekati warga dengan ajakan persuasif.
Berangkat dari kenyataan ini, wajarlah sudah jika Islam dahulu memang lebih melekat kuat dalam sanubari para penganutnya. Entah memang tidak ada, atau karena belum ada, tidak kita temui terma “Islam KTP” dalam rakitan sejarah pra modernitas. Warga Islam Nusantara saat itu memang benar-benar Islam, dengan sepenuh hati meyakini dan mengamalkan ajaran agama ini. Wali Songo yang merupakan pionir dakwah Islam Nusantara menjalankan misinya dengan amat sempurna. Loyalitasnya yang merakyat, kemampuan diplomasi yang disegani pemerintah, serta metodologi dakwah yang membudaya membuat warga tercerahkan dan dapat memhamai Islam yang benar-benar mendamaikan dan mensejahterakan umat.
Pada babak-babak sejarah selanjutnya, nama-nama seperti Syaikh Nawawi al-Bantani, Nuruddin al-Raniri, Syaikh Ihsan Ibn Dahlan al-Jamfasi al-Kadiri, serta tokoh lain mulai meramaikan perjalanan Islam Nusantara. Produktifitas mereka dalam menciptakan pelbagai buah karya Islami patut diapresiasi setinggi-tingginya. Bahasan buku-buku yang mereka anggit seolah amat menyentuh kehidupan sosial masyarakat sehingga mudah untuk diterima. Dengan semangat menuntut ilmu yang tinggi, bahkan hingga mencoba untuk memperkaya ilmunya melalui pembelajaran di luar negeri, Timur Tengah khususnya, menjadikan mereka tokoh-tokoh berwawasan luas yang disegani oleh rakyat Nusantara.
Keseragaman yang mereka angkut menjadikan mereka mampu menyebarkan Islam di Indonesia dengan kebersamaan yang saling melengkapi. Mulai didirikannya pondok pesantren salafi kala itu merupakan wujud dari kekompakan semangat mereka dalam mendakwahkan Islam. Martin Van Bruinessen merupakan salah satu peneliti Kitab Kuning dan Pesantren Melayu yang amat mengapresiasi usaha mereka ini. Keberadaan pondok pesantren di Indonesia memberikan andil yang amat luar biasa dalam menyebarkan ajaran Ilahi. Benar jika dikatakan bahwa buku-buku dan kajian di pondok pesantren terkesan tertutup dan tidak menerima pemikiran yang agak nyeleneh. Pun tradisi santri dan murid untuk mengagungkan gurunya dan tanduk patuh terhadap apa yang diajarkan serta yang diperintahkan memang amat menggema di masa itu. Namun, metodologi dan corak pembelajaran seperti itulah yang memang sedang dibutuhkan. Ketidaktahuan masyarakat akan hakikat agama perlu diselaraskan. Pengenalan dasar akan Islam yang merupakan agama baru di Indonesia kala itu perlu diseragamkan sehingga nantinya tidak muncul konfrontasi antara orang baru dalam Islam.
Lambat laun, modernitas mulai merajalela hingga masuk ke dalam konstruk sosial Indonesia. Mirisnya, kemajuan bangsa-bangsa di dunia ini tidak diimbangi dengan kemajuan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Yang dilestarikan oleh Muslim Indonesia modern, bukanlah semangat keilmuan pada ulama klasik yang permanen sehingga bisa diaplikasikan kapan saja, tapi justru metodologi salaf yang temporal dan dibatasi oleh berbagai hal. Kemirisan ini menjadikan Islam di Indonesia justru lebih mandeg daripada kemandegan yang dialami Timur Tengah belakangan ini. Jangankan dibandingkan dengan Amerika dan kawan-kawan, dibandingkan dengan Malaysia saja mungkin Islam Indonesia masih terlampau kalah jauh.
Realitas adalah kenyataan yang harus diterima, namun kenyataan ini bukanlah keyakinan yang harus terendapkan. jikalau memang Roma masih ada, maka masih banyak pula jalan menujunya. Ini bukan nol, bukan pula pemberhentian terakhir, namun ini adalah kenyataan pahit yang harus dijayakan kembali. Dahulu, al-Bantani dkk. mampu menunjukkan pada dunia akan eksistensi Islam di Indonesia dengan usaha keras mereka hingga rela mempelajari Islam dari kiblat Islam kala itu (Arab). Tentunya, tidak mustahil bagi generasi sekarang untuk turut semangan meniti karir mereka dengan mempelajari Islam dari berbagai tempat yang memang pantas dan layak untuk dijadikan referensi kajian Islam. Islam memang lahir di Jazirah Arab, akan tetapi kita tidak dapat memungkiri bahwa belakangan ini, kajian Islam di Barat lebih berbobot dan lebih otoritatif. Bukan berarti hendak menyerahkan Islam kepada mereka, namun justru dengan menyerap ilmu yang ada di sana (layaknya mereka mengembat ilmu-ilmu dari Islam Arab sejak abad 11 dulu) kita mampu kembali merebut Islam ke tangan kita.
benar, pada zaman al-Bantani dkk. paradigma kajian Islam Timur Tengah masih terkesan jumûd. Dengan melihat realitas sejarah bahwa karya-karya yang muncul kala itu hanyalah karya-karya berbentuk syarh, hasyiyah, dan semacamnya, dapat dimengerti bahwa kajian dan ide-ide keagamaan kala itu benar-benar stagnan. Namun semangat, yang diusung oleh ulama Islam Nusantara pada zaman itu perlu dilanjutkan oleh anak-anak bangsa. Produktifitas yang telah seabad lebih musnah harus kembali dihidupkan, hanya kita sebagai anak bangsa yang mampu mengkader ulang semangat perjuangan Islam-ilmiah tersebut. (Mc-V)
0 Response to "Islam Nusantara"
Post a Comment