Ibu...Ayah...
lagi-lagi aku termenung. bukan untuk pertama kali. tentu bukan. namun entah untuk kesekian juta kalinya kontemplasiku hanya menjadi isapan jempol yang berputar-putar dalam haluan pikiran. tulang belulangku bergemeretak meronta-ronta ketika kuingin melakukannya. ataukah semua hanya sekedar belaian halus para kuntil anak di kepalaku?
Ibu...Ayah...
lagi-lagi kumelamun. bukan pula untuk pertama kali. sama sekali bukan. toh lamunan itu tetap saja menjadi lamunan. bukankah untuk melamun pun aku masih menghisap batang-batang nikotin ini? jangankan Thabari, teori big-bang Hubble pun tak mampu membuatku terjaga dari kegemingan ini.
Ibu...Ayah...
lagi-lagi kubersungkur. jalanan lenggang ini serasa nikmat sekali ditangisi. mobil-mobil yang berkeliaran pun tak menghiraukanku. yah, diriku adalah seekor siput yang bahkan hampir mati, berdecak pinggang di jalanan tanpa hambatan. jauh di sana, kawan-kawan menertawakanku. keringat mereka yang bercucuran kala langkah mereka menanjaki gunung penuh hambatan pun seakan menghinaku.
Ibu...Ayah...
lagi-lagi......lagi-lagi kemudahan itu tak cukup. tobat pun bukan menjadi penutup. karena insaf sekedar menjadi putik yang masih kuncup.
Kata Ebid...Anakmu ini banyak menanggung beban....aku tau berbohong itu dosa. lalu, aku harus bagaimana?
lagi-lagi aku termenung. bukan untuk pertama kali. tentu bukan. namun entah untuk kesekian juta kalinya kontemplasiku hanya menjadi isapan jempol yang berputar-putar dalam haluan pikiran. tulang belulangku bergemeretak meronta-ronta ketika kuingin melakukannya. ataukah semua hanya sekedar belaian halus para kuntil anak di kepalaku?
Ibu...Ayah...
lagi-lagi kumelamun. bukan pula untuk pertama kali. sama sekali bukan. toh lamunan itu tetap saja menjadi lamunan. bukankah untuk melamun pun aku masih menghisap batang-batang nikotin ini? jangankan Thabari, teori big-bang Hubble pun tak mampu membuatku terjaga dari kegemingan ini.
Ibu...Ayah...
lagi-lagi kubersungkur. jalanan lenggang ini serasa nikmat sekali ditangisi. mobil-mobil yang berkeliaran pun tak menghiraukanku. yah, diriku adalah seekor siput yang bahkan hampir mati, berdecak pinggang di jalanan tanpa hambatan. jauh di sana, kawan-kawan menertawakanku. keringat mereka yang bercucuran kala langkah mereka menanjaki gunung penuh hambatan pun seakan menghinaku.
Ibu...Ayah...
lagi-lagi......lagi-lagi kemudahan itu tak cukup. tobat pun bukan menjadi penutup. karena insaf sekedar menjadi putik yang masih kuncup.
Kata Ebid...Anakmu ini banyak menanggung beban....aku tau berbohong itu dosa. lalu, aku harus bagaimana?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Cecunguk"
Post a Comment