“Terhitung sejak satu Januari 2011 nanti, aturan itu diberlakukan.”
Musibah bagi mereka dan kami-kami yang berada di luar negeri. Pemerintah berjanji akan mulai menetapkan pajak barang bawaan luar negeri. Malam itu, sekali lagi guruku yang mendaku a-nasionalis menjejaliku dengan keburukan-keburukan pemerintah Indonesia. Yah, aku tahu bahwa inisiasi a-nasionalis ini hanya topeng belaka karena kuyakin beliau, guruku ini, memiliki nasionalisme yang jauh lebih tebal dari yang kubanggakan tiap saat.
Kabarnya, menurut guru sekaligus sahabatku ini, bahwa fiskal tak lagi diberlakukan karena pemerintah merasa malu pada negara-negara lain. Lalu, demi menutup kemandegan pajak keluar negeri ini, pemerintah hendak menerapkan –atau tepatnya hendak mengetatkan– pajak barang luar negeri. Mulai awal Januari ini, fiskal akan reinkarnasi menjadi pajak barang luar negeri. Celetuk sobatku tadi, “Harusnya kalau alasannya malu, semenjak dahulu sudah dipugar fiskal itu!”
Indonesia memang aneh. Bukan hanya dalam kasus fiskal ini saja. Dan obrolan kami malam itu membuktikan adanya bejibun keanehan –atau biasa disebut masalah–- yang melekat di tubuh Ibu Pertiwi. Ah….bukan waktunya membahas hal-hal ini. Enggan, pun segan.
Terlepas dari tangan-tangan jahil di sekitarnya, fiskal merupakan salah satu sumber pendapatan yang menjanjikan bagi pemerintah Indonesia. Hanya saja, yang selama ini menjadi masalah adalah generalisasi yang dilakukan pemerintah dalam mengejawantahkan aturan ini. Bukan hanya Bakrie yang maha kayanya itu yang harus membayar fiskal, namun Sutedjo yang uang tiketnya pun hutang demi mengadu nasib di negeri orang juga harus membayar fiskal. Fakta menunjukkan bahwa desakan penghapusan fiskal lebih gentar dilancarkan oleh mereka yang memang mempertimbangkan pengeluaran hidup. Sedang bagi mereka yang hanya butuh mengedipkan mata untuk mencari ratusan juta rupiah, lebih senang bertutup mulut.
Agaknya, pemerintah memahami dampak ini. Dan seperti pengurangan serta limitisasi BBM, pemerintah pun hendak memberikan subsidi kepada mereka yang membutuhkan agar tidak perlu membayar fiskal. Masalahnya, standarnya sulit, dan mudah di’akali’. Oleh karenanya, penerapan pajak barang luar negeri yang mulai diterapkan awal 2011 ini dapat dikatakan sebagai upaya baru untuk menuntut dana lebih banyak dari orang-orang berduit.
Ketika mereka pulang dari luar negeri membawa banyak barang-barang berharga dari luar negeri, itu artinya mereka memang memilki uang yang lebih dibanding yang lain. Wajar akhirnya jika mereka diharuskan membayar pajak masuknya barang-barang berharga itu. Lagipula, membeli barang produksi di luar negeri berarti mengurangi pendapatan negara, dan tentu para warganya. Sudah menjadi sebuah konsekuensi untuk membayar itu.
Nalar berpikir bangsa Indonesia amat dihegemoni oleh nafsu akan kenikmatan lokal yang amat terbatas. Jika kita menyempatkan diri berdialog pada para petani dan rakyat kecil lain yang kurang peka terhadap kondisi pemerintah secara komperehensif, mereka pasti akan mengumbar ucap bahwa era Pak Harto jauh lebih indah daripada yang ada sekarang. Tentu, kita –kaum akademisi dan pengamat politik– yang melaknat Pak Harto dapat memaklumi kesalah para petani itu.
Laiknya fenomena itu, kemudahan untuk keluar negeri dengan gratis tanpa fiskal atau masuk ke Indonesia tanpa membayar pajak barang berharga merupakan representasi kebijakan Pak Harto. Sedang keharusan keduanya, atau salah satu saja, menjadi gambaran pemerintah yang lebih bijaksana. Jika kita memagn minim pendidikan dan awam politik, wajar jika kita tak ingin fiskal dan pajak itu diberlakukan. Namun, jika sebaliknya, sudah seharusnya kita mendukungnya.
Bukan hanya dalam polemik fiskal nalar bangsa Indonesia sering sedikit serong dari yang seharusnya. Dan bukan pula penulis mengecualikan dirinya dari bangsa Indonesia pada umumnya, karena penulis juga bangsa Indonesia. Maka, mari kita bayar pajak…….[Mc-V]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
bayar pajak juga duitnya gak masuk negara bos....pada dikantongin pegawai pajaknya....gimana tuh....hehe