Alkisah, sejarah dimulai ketika tulisan ditemu. Tepatnya 3000 tahun sebelum Masehi, tulisan paku yang dikenal dengan cuneiform menjadi titik mula sejarah manusia dimulai. Sebelum itu, peradaban sederhana manusia dikenal dengan era pra-sejarah. Tulisan menjadi titik mula sejarah dimulai.
Bukti-bukti sejarah digali dengan bantuan prasasti-prasasti kuno. Peradaban manusia dikenal dari informasi-informasi literal yang ada. Bahkan, eksistensi agamapun terrefleksikan oleh kitab-kitab suci. Al-Qur`an, sebuah tulisan, menjadi warisan yang paling bernilai bagi umat Islam. Lagi-lagi, tulisan menjadi simbol peradaban manusia.
Entah sudah berapa ribu buku dan risalah yang dianggit oleh Imam Syafi’i, Ghazali, dan ulama-ulama Islam lainnya. Pun ratusan naskah diwariskan oleh Imam Nawawi al-Bantani, Abd al-Shamad al-Palimbani, Nuruddin al-Raniri, Ihsan al-Jampesi dan ulama Nusantara lainnya. Bukan hanya sebagai bukti eksistensi dan kompetensi intelektual mereka, namun teks-teks ini telah menjadi gudang ilmu pengetahuan dunia. Kali ini, tulisan malah menjelma menjadi titik sentral peradaban dan ilmu pengetahuan.
Dus, menulis menjadi tradisi yang bukan lagi harus, namun pasti diwariskan dan dibudidayakan. Maka semangat produktivitas akademik pendahulu dalam tulis-menulis ini, sudah selayaknya dimiliki oleh akademisi kontemporer. Tak terkecuali santri, yang pada hakikatnya, merupakan lokomotif akademik dalam dunia keislaman. Basis pengetahuan Islam dimulai dari sini.
Dalam tulisan ini, penulis ingin sedikit menggelitik nalar dan emosi santri agar produktif menulis, dan terlebih, mampu merepresentasikan gelombang intelektual Islam melalui coretan-coretannya. Hanya dua poin yang hendak penulis sampaikan.
Pertama, apa yang didapat dari menulis? Pertanyaan ini menjadi (semacam) legalisasi paling umum bagi mereka yang enggan menulis. Untuk apa membuang lelah demi sesuatu yang tak jelas, katanya.
Niscaya lumrah jika berbilang bahwa dia, dia, dan dia rajin bekerja. Pekerjaannya menelurkan uang. Terbentuk profit materil dari aksi ini. Di sisi lain, ternyata, si dia, dia, dan dia yang lain, rajin sekali berpacaran (baca: ta’aruf). Terhasil efek kepuasan psikologi dari prosesi itu.
Berangkat dari fenomena ini, maka iming-iming fisik maupun batin harusnya mampu menjadi pelecut utama agar gemar menulis. Seperti halnya orang bekerja yang akan mendapatkan gajinya, orang yang menulis juga dibayar. Namun layaknya, perkara yang terlalu material-duniawi ini tak disebut. Ia akan menjadi tema tersendiri dalam dunia tulis-menulis yang lebih lanjut. Lain halnya dengan kepuasan batin yang akan didapat sejak pertama kali mencoretkan pena ke selembar kertas. Seperti halnya seorang lelaki yang rajin apel ke rumah doi, dia akan mendapatkan kepuasan batin dari pacarannya itu. Maka mereka yang menulis pun, akan mendapati kepuasan batin dari tulisannya.
Mengandaikan sebuah contoh, ketika tulisan si Fulan dimuat dalam buletin lokal pondok pesantrennya, rekan-rekanita si Fulan akan menengarai tulisannya. Terlepas dari efek lanjutan apakah si Fulan akan membusungkan dada ketika berjalan, atau justru merona tersipu malu, namun haqiqatan, si Fulan pastilah merasakan kebanggan tersendiri. Namanya dikenal sebagai seorang kontributor buletin. Sebagai sosok yang memiliki kompetensi dan kapabilitas untuk menulis. Tidak hanya dalam buletin, namun dalam semua media, termasuk yang bersifat personil, seperti notes di Facebook atau blog. Kebanggaan muncul ketika banyak komentar masuk, kritik maupun apresiasi.
Idealnya, motif menulis bukanlah keuntungan belaka, namun lebih karena tanggung jawab sosial-akademik. Namun, seperti halnya ibadah, menulis juga memiliki tahapan-tahapan keikhlasan. Penulis teringat pada konsep ‘ubudiyyah yang dimunculkan oleh para Sufi. Dalam ‘Ushfuriyyah pun dijelaskan bahwa keikhlasan seseorang beribadah dapat dikategorikan ke 3 golongan; mereka yang beribadah karena takut dosa/neraka dan mengharap pahala/surga, mereka yang beribadah karena menari ridha Allah, dan mereka yang beribadah semata-mata karena mencintai Allah tanpa mengharap imbalan apapun.
Tak ayal pula dalam menulis. Iming-iming tersebut dapat diperdayakan untuk menjadi penyemangat. Dengan menulis, ia akan dikenal oleh orang. Ia akan bangga ketika tulisannya ter-publish secara luas. Lambat laun, tanggung jawab akademik dan sosial akan menjadi pertimbangan sendiri. Semoga.
Selain kebanggaan dan rasa percaya diri, beberapa keuntungan lain dapat digunakan sebagai pendorong dan pelecut semangat menulis. Jaringan misalnya. Mereka yang sering menulis, akan mengenal dan dikenal lebih banyak orang. Pada gilirannya, ini akan menjadi kelebihan tersendiri yang dapat dimanfaatkan.
‘Keharusan’ juga dapat menjadi motivasi tersendiri. Mereka yang aktif di forum diskusi akan diharuskan untuk menulis makalah. Para jurnalis akan diharuskan untuk mengisi rubrik-rubrik. Murid akan diharuskan untuk menyelesaikan paper sebagai tugas dar gurunya. Awalnya, menulis hanya karena keharusan-keharusan ini. Namun lambat laun, seperti yang penulis alami sendiri, kegiatan menulis akan berevolusi menjadi keinginan, bukan lagi keharusan.
Kedua, strateginya? Ini bukan pertanyaan mungkin. Ini adalah tuntutan. Bukan strategi untuk mendapati laba dan keuntungan yang bejibun dari menulis. Namun lebih kepada manhaj yang paling tepat untuk menghasilkan tulisan semerdu untaian kata al-Farazdaq, namun sepadat Nihayah al-Mathlab-nya al-Juwaini. Atau setidaknya, menjadi coretan yang menyerupai ism ghair al-munsharif, tak berhak ditarik kesana kemari, merepresentasikan hanya satu makna.
Mengisi amunisi. Ini merupakan prosesi wajib, labuda, tan keno ora yang harus dilalui sebelum perang. Begitu pula dalam menulis. Sebelum memulai menulis, informasi perihal apa yang akan ditulis harus lebih dahulu dicari. Pencarian ini bisa dilakukan dengen berbagai media. Dalam komunitas akademik, membaca menjadi metode paling efektif untuk memperkaya bahan tulisan. Selain memperoleh materi, membaca dapat pula meningkatkan kekayaan diksi dan pengetahuan singkat terhadap logika serta aturan bahasa.
Oke, penulis sepakat jika membaca terkadang menjemukan. Pelbagai cara lain dapat ditempuh untuk memperkaya materi. Diskusi, sekedar mendengarkan ceramah dan seminar, atau bahkan nonton video. Variasi metode penggalian data dan informasi ini dapat menjadi alternatif untuk memperkaya wawasan.
Yang menjadi problema adalah ketika kegiatan ini dilakukan oleh mereka yang tipikalnya tidak mudah mengingat. Dalam kondisi seperti ini, notifikasi kecil selalu diperlukan. Apapun bentuk informasi yang diperoleh, dari manapun, layaknya segera didokumentasikan dalam catatan. Mungkin prinsip ini yang mengawali citra bahwa pelajar wajarnya selalu menenteng notebook dan pena. Dengan ditulis, materi itu tak mudah lenyap.
Substansi tulisan sudah lengkap, namun masalah muncul ketika tidak tahu harus mulai menulis dari mana sampai mana. Salah satu bantuan yang bisa digunakan adalah dengan membuat outline atau silabus mini. Pedoman ini nanti akan amat membantu dalam proses penulisan. Tulisan tak akan amburadul dan menjadi tak jelas.
Satu hal yang menjadi hal paling fundamental dan prinsipil dalam kegiatan apapun adalah berlatih. Tak terkecuali dalam kegiatan tulis-menulis. Semakin sering berlatih, semakin mengalir logika bahasa dan semakin menarik alur tulisannya. Mendiskusikan tulisan-tulisan itu dengan mereka yang lebih ahli juga akan menjadi poin tersendiri. Terus berlatih dan mendiskusikan tulisannya. Al-istiqamah khairun min alf karamah.
Semangat menulis sudah terbentuk, amunisi juga siap. Apalagi? Segera torehkan tinta di lembar-lembar itu! Jangan hanya sekali, namun teruslah menulis untuk mengasah ketajaman pena. Dan ingat, bersiap selalu untuk menerima undangan nge-date dari pembaca yang kagum dengan tulisan Anda! [Mc-V]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Menjadikan Menulis senikmat Pacaran"
Post a Comment