Template Baru

Sekedar Nyoba

Wah...dapet juga akhirnya template baru buat blogku. Awalnya, aku merasa bingung sama blogku ini. Di satu sisi isinya ga menarik. Dan di sisi lain, tapmilannya pun tak enak dipandang. Yah, semoga tampilan baru ini (setidaknya) bisa membuatku bersemangat untuk mengisinya dengan tulisan-tulisan. Sekarang mungkin masih sepi, tapi semoga, ke depan, aku bisa giat berlatih menulis melalui blog ini. Buat semua pembaca, maaf kalau kurang berkenan dan tak layak. Selamat Membaca!

Internasional Islamic University Malaysia

My New Study Place

Finally...I can now continue my study to master degree. Here in IIUM I hope that I can learn more knowledge and virtue. Yes, I alsoo really want to be graduate soon...so pray for me guys...

PCI NU Mesir

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Mesir

This is the official site of Nahdlatul Ulama special branch in Egypt..

Indonesia Today

Demo Anti-Mubarak di Bundaran HI Dibalas Pengusiran WNI di Kairo

Tindakan elit dan kelompok mahasiswa di Jakarta yang mencampuri urusan dalam negeri Mesir berakibat buruk. Setelah mahasiswa RI, giliran WNI diusir dari tempatnya bekerja di Kairo.

Lagi, Kekerasan atas Nama Agama

Tiga Gereja Dirusak Massa

Setidaknya tiga gereja di Temanggung, Jawa Tengah, rusak karena menjadi sasaran amuk massa menyusul kerusuhan dalam persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Antonius Richmond Bawengan di Pengadilan Negeri Temanggung, Selasa (8/2/2011).


MEMANUSIAKAN TEOLOGI
"Teropong Transformasi Paradigma"

Oleh: Muhammad Miqdam Makfi

Prolog

Dalam lipatan-lipatan lembar sejarah Islam tercatat informasi akan minimnya perdebatan detail teologis pada masa-masa awal, mengingat Rasulullah saw melarang umat Muslim untuk mengelaborasi secara mendalam hal-hal yang berkorelasi integral dengan diskursus ketuhanan. Larangan itu dibahasakan oleh Nabi dengan ungkapan populer "undhur fî khalqiLLâh walâ tandhur fî dzâtiLLâh". Pembicaraan yang 'mendayu-mendayu' terkait dengan persoalan metafisik dianggap akan menjadi kendala fundamental bagi proses transisi kepercayaan dari paganisme menuju monoteisme.

Awal mula perbincangan seputar teologi, khususnya dalam persoalan konvensional Jabariyyah-Qadariyyah, baru muncul selepas tragedi arbitrasi pada perang Shiffin. Persengketaan dalam wilayah pragmatisme politik tersebut kemudian diseret ke dalam perdebatan teologis oleh Muawiyyah. Untuk melegitimasi sikap-sikap politik dan menghindari munculnya pemberontakan, rezim Muawiyyah mengklaim bahwa kekuasaan yang ia renggut dari Ali bin Abi Thalib adalah semata-mata kehendak mutlak Tuhan. Pada babakan berikutnya, konsep kehendak mutlak Tuhan yang dijadikan tameng sikap despotis Muawiyyah ini memancing respon dari pihak oposan. Aliran Qadariyyah merupakan kelompok oposisi yang menyodorkan konsep free will (kehendak bebas manusia) yang diproyeksikan untuk mengimbangi klaim rezim Muawiyyah. Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian konsep teologi yang selama ini kita yakini, sejatinya hanyalah pragmatisme politik yang diteologisasi melalui bantuan justifikasi dengan teks-teks keagamaan.

Pada masa Abasiyyah, konfrontasi teologi terkesan lebih panas, dikarenakan umat Islam mulai melakukan perkawinan budaya dan peradaban dengan bangsa asing, terutama Yunani, yang mau tidak mau mempengaruhi spiritualitas mental umat Islam kala itu. Transmisi peradaban Yunani ini sedikit banyak telah mempengaruhi teori-teori teologi yang berkembang kala itu. Klimaks transliterasi literatur Yunani yang kemudian dijadikan pijakan kuat argumentasi para teolog terjadi pada masa Khalifah al-Ma'mun.

Selanjutnya, madzhab-madzhab tauhid yang muncul di periode Umayyah dan Abasiyyah inilah yang akan menghiasi perjalanan 'Tuhan' selama masa Islam hingga zaman kejumudan. Yang menyesalkan di sini adalah aktivitas mereka yang hanya berputar-putar pada perdebatan dan dalil nenek moyang mereka tanpa adanya geliat baru yang progresif. Ke-nonkreatifitas-an mereka inilah yang akhirnya membangunkan sang reformis kita -Muhammad Abduh- untuk mencerahkannya. Nah, tulisan inilah yang akan berusaha sedikit mengelaborasi tajdîd al-Kalâm semenjak revolusi Abduh hingga detik ini.

Potret mini langkah-langkah teolog Islam modern
Kecewa dengan diktat yang diterbitkan oleh madrasah tempatnya mengajar ilmu Kalam di Beirut, Abduh undur diri dari dewan pengajar madrasah. Setelah beberapa saat menjauh dari jabatannya sebagai seorang guru, beliau sadar bahwa rendahnya kualitas diktat kampusnya dahulu, merupakan PR tersendiri untuk kembali diluruskan kepada ajaran ilmu Kalam yang benar sesuai dengan realitas yang dihadapi. Atas alasan itulah akhirnya beliau kembali mengeksplorasi konsep-konsep ilmu Kalam dan menelurkan Risâlah al-Tauhîd dalam rangka misi pencerahan umat.

Bukunya itu beliau susun seringkas mungkin agar lebih mudah dipahami, berbeda dengan buku-buku lain tentang ilmu Kalam yang cenderung njlimet dan muter-muter dalam membahas konsep-konsepnya, terutama saat terjadi khilaf. Abduh mengklaim metodologi penulisan panjang seperti itu sangat tidak efektif mengingat hanya akan menjadikan limit tersendiri bagi pembaca. Interpreter akan kesulitan mencari artikulasi sesungguhnya dari tulisan jika wujudnya ruwet seperti itu. Beliau menawarkan suatu wacana ketuhanan yang tidak bertele-tele sehingga bisa dipahami dengan mudah oleh khalayak umum.

Abduh, melalui buku tersebut, ingin menapaktilasi upaya Sunni untuk memberikan jalan tengah antara Qodariyyah dan Jabariyyah. Abduh mencela Qodariyyah yang terlalu hiper dalam menggunakan akal hingga lupa akan kehadiran Tuhan beserta segala kelebihan-Nya, pun beliau menyesalkan aliran fatalistik yang hanya pasrah kepada nasib tanpa ada usaha untuk menjadi seorang Muslim yang aktif. Abduh mencuatkan sekali lagi titik tengah antara predestinasi dan determinasi melalui teori al-Kasbî. Manusia memiliki kemampuan untuk melakukan usaha yang limited di bawah ketentuan Allah yang unlimited. Dalam konteks ini, teori kausalitas kehidupan harus selalu dipakai. Suatu kejadian dalam dunia merupakan akibat dari sebuah sebab sebelumnya. Dengan ini dapat diambil konklusi bahwasanya Abduh merupakan buruh murni kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Akan tetapi, yang menarik adalah rekonstruksi Abduh terhadap paham Sunni yang kemudian memunculkan wajah Sunni dengan lebih rasionalis.

Hal ini terrefleksikan ketika Abduh menekankan urgensitas ilmu Kalam dengan memposisikan akal secara lebih proporsional. Abduh menepis eksplorasi lebih lanjut tentang hal-hal yang berada di luar jangkauan nalar manusia. Bendera revitalisasi hadits Rasulullah yang memerintahkan manusia untuk menelaah ciptaan Allah tanpa melirik kepada dzat-Nya harus dikibarkan kembali. Elaborasi mengenai jauhar, fard, jism, yang kemudian berkembang kepada sifat-sifat dan Dzat Allah ditolak serta dihapus oleh Abduh dari pembahasan teologi. Dari sini dapat diketahui bahwa sebenarnya Abduh sedang melakukan reformasi ilmu Kalam Islam yang terkesan 'amburadul' sebelumnya. Mungkin dikotomi Abduh antara wilayah nalar dan non-nalar inilah yang menjadi tinta biru teologi transformatif dari paradigma teosentris menuju antroposentris.

Usul rekonstruksi paradigma teologi ini disambut hangat oleh Hasan Hanafi dengan teori-teori yang lebih radikal. Dia menyarikan bahwa segala macam konsepsi yang terdeteksi oleh kain histori merupakan sebuah produk budaya dan peradaban tertentu. Dalam tataran ilmu Kalam, ini berarti kemunculan madzhab-madzhab teologi pasca perang Shiffin tersebut tidak pernah lepas dari keterkungkungan kondisi, waktu, dan posisi. Teori-teori para teolog klasik itu semata-mata hanyalah ijtihad manusia belaka. Kredibilitas orang dulu dan sekarang adalah sama, sehinga orang sekarang berhak melahirkan konsep ketuhanan yang relevan untuk zaman ini, sebagaimana orang dulu merangkainya untuk zaman mereka. Asumsi sakralisasi ilmu akidah yang eksis selama ini harus didekonstruksi sehingga umat Islam dapat bebas menggapai daun-daun keimanan baru yang tidak tumbuh di atas akar hegemoni pendapat konvensional. Berlandaskan analisis inilah, Hasan Hanafi berani menawarkan sebuah ilmu Kalam yang dia anggap cocok dengan zaman dan kondisi sekarang.

Menurutnya, perlu adanya sebuah konstruksi tauhid yang tidak hanya berorientasi kepada kesejahteraan di akhirat, akan tetapi ikut memperhatikan keselamatan di dunia. Jika dahulu sebuah keimanan dalam beragama hanya diupayakan untuk mencapai kebahagiaan hakiki di akhirat nanti, maka Hasan Hanafi justru mengisyaratkan akan uregensitas kebahagiaan di dunia. Kebahagiaan duniawi, dia pandang layak untuk diperoleh siapa saja termasuk orang Islam di seluruh dunia. Pendapat ini sekilas mengingkari hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan abstraksi makna:

Dunia adalah penjara bagi orang Islam dan surga bagi orang kafir.
Sejatinya, terobosan Hasan Hanafi tersebut sama sekali tidak berbias balik dengan hadits itu. Yang perlu dicermati di sini adalah kesalahan ulama-ulama klasik yang membahasakan hadits itu dengan kalimat
dunia milik orang kafir dan akhirat milik orang Islam.
Interpretasi seperti inilah yang menjadikan umat Islam salah persepsi tentang artikulasi sebenarnya dari hikmah oral Rasulullah itu. Terdapat perbedaan mendasar yang harus diperhatikan antara hadits Rasulullah dan analogi ulama klasik itu. Seseorang yang dikekang –identik dengan diksi penjara dalam hadits ini- tidak bisa hanya tinggal diam menunggu 'tangan Tuhan' melepaskan jerat-jerat tersebut. Dia harus berjuang banting tulang agar dapat kembali merasakan freedom dan kesejahteraan hidup yang indah ini. Manusia tidak bisa hidup miskin, melarat, dan menderita menunggu kematian yang seakan-akan membebaskannya dari penderitaan duniawi menuju alam surgawi di akhriat. Manusia harus berjuang untuk mendapatkan juga surga dan kenikmatan hidup di dunia ini. Berkaca kepada cermin sejarah, masa kemajuan Islam diperoleh dengan usaha mati-matian para punggawa Islam, bukan malah malas-malasan dan menunggu datangnya kejayaan secara ujug-ujug tanpa ada usaha keras. Perlu diingat bagaimana jerih payah Rasulullah beserta para pengikutnya dalam membesarkan Islam. Mereka sama sekali tidak pasrah bongkokan menunggu nasib yang akan terjadi. Mereka selalu berjuang keras dalam rangka mencari kebahagiaan di dunia ini. Hadits itu justru harus dijadikan stimulus tersendiri untuk giat belajar dan bekerja, agar mendapatkan kebahagiaan riil di dunia. Bukan berarti menyalahkan, akan tetapi kegiatan tarekat melalui jalan zuhûd perlu untuk diredam karena hanya akan menjadikan manusia menderita dalam kehidupan dunia.

Lebih jauh lagi, Hasan Hanafi menuturkan bahwa teologi Ilahi harus diputar menjadi teologi manusiawi. Objek kajian yang dulunya adalah dzat Allah untuk menghadapi para pengingkar iman, maka kini harus dialihkan ke pembahasan masâlih al-'ibâd untuk menghadapi aliran materialisme, marxisme, orientalisme, dan lainnya. Semakin radikal, Hasan Hanafi menguraikan bahwa posisi akal yang dulunya hanya menjadi dalil dzanni di bawah hegemoni nash harus dipromosikan menjadi dalil qath'i yang menundukkan nash. Kepasrahan manusia kepada teks agama harus diruntuhkan untuk kemudian membangkitkan spirit rasionalitas dalam beriman dan beragama. Logika yang dipakai, manusia tidak mungkin dapat membenarkan nash dan wahyu tanpa adanya bantuan nalar. Tanpa akal, produk revelasi itu akan mati dan membusuk. Mutlak dibutuhkan akal sehat yang mampu membenarkan dan menginterpretasikan kandungan wahyu itu. Sehingga, posisi nalar justru sebenarnya lebih mulia daripada teks.

Pengantar akhir dalam upaya revolusi Kalam oleh Hasan Hanafi adalah langkah-langkah kongkret yang menurutnya cukup krusial untuk diaplikasikan oleh umat Muslim dalam pengejawantahan teologi Islam masa kini. Pertama, adanya reinterpretasi terhadap wacana klasik dalam teologi Islam. Menurut Hasan Hanafi, ini merupakan modal awal bagi umat Islam sekarang, untuk dapat memahami dan mengamalkan ajaran ketuhanan Islam secara intens sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua, reproduksi yang baru dari yang lama. Seperti yang telah terurai sebelumnya, dengan melihat konsep klasik bahwa nash berada di atas akal, dapat dimunculkan konsep baru bahwa posisi akal berada di atas nash. Ketiga, pemilihan kembali terhadap opsi-opsi klasik. Jika dahulu mutakallimîn memilih untuk menjadikan teologi sebagai ilmu individual, maka sekarang haruslah dipilih opsi kedua yang menyatakan bahwa Kalam adalah ilmu sosial. Ini berarti cakupannya harus lebih memasyarakat dan mengena tataran konstruk sosial seperti nilai-nilai demokrasi, egalitarianisme, politik, dan yang lainnya. Atau jika dahulu memang hanya ada satu pilihan, maka sekarang mungkin sekali disuguhkan pilihan baru sebagai opsi lain.

Yang perlu digarisbawahi dari upaya pembaharuan teologi ala Abduh dan Hasan Hanafi adalah transformasi paradigma teologi yang transenden menuju teologi yang imanen. Abduh telah membuka laju perpindahan tersebut dengan meninggalkan tema-tema melangit dalam kajian Tauhid. Hasan Hanafi melanjutkannya dengan menempatkan otoritas akal di atas hegemoni teks demi merelevansikan ilmu Kalam dengan kondisi dan situasi.
Dalam rangka menikahkan revolusi akidah milik Abduh dan Hasan Hanafi (serta beberapa pemikir progresif lain yang jika dicermati memiliki konsepsi prinsip serupa), maka penulis ingin menawarkan rekonstruksi paradigma teologi klasik dengan beberapa langkah.

Pertama, antroposentrisasi teologi. Akidah modern haruslah menjadi sebuah teologi kemanusiaan. Pergulatan ilmu Tauhid yang sedari dulu selalu God-oriented, harus dimanusiakan menjadi ilmu Kalam yang human-oriented. Implikasinya, epistema akidah konvensional yang acap kali membahas hal-ihwal di luar jangkauan nalar dan persepsi manusia, harus dipindah-mediumkan menjadi konsepsi yang lebih membumi dan berada di dalam jangkauan akal. Selain itu, jika konsep klasik berkutat-kutat di 'aras atas' seperti eksistensi Allah, sifat-sifat-Nya, malaikat, surga, dan akhirat, maka konsep teologi kemanusiaan harus berani mengekspansi 'aras bawah' seperti manusia, rakyat, negara, dan dunia. Dengan konteks seperti ini, maka titik tolaknya harus diubah dari personal menjadi sosial. Nilai keimanan seseorang tidak hanya dipandang dari kekhusyukannya beribadah, akan tetapi juga ditilik dari aktivitas kemasyarakatannya. Seorang yang shalih bukan hanya yang rajin shalat, melainkan juga seseorang yang memiliki interaksi sosial yang tinggi, dan juga orang yang gemar menegakkan egalitas, emansipasi, kesejahteraan rakyat, nasionalisme, serta nilai-nilai sosial yang lain.

Kedua, human as point of view for the life. Ketika teolog klasik rajin memandang kehidupan dengan kacamata ketuhanan, maka sekarang harus dimulai proses pemantauan kehidupan dengan lensa kemanusiaan. Ini berarti, dunia tidak lagi dilihat sebagai hal yang menyatu dengan Tuhan, namun justru dipandang sebagai eksistensi yang terpisah dari Tuhan. Ini ditujukan agar manusia lebih objektif dalam memperhatikan dan memanfaatkan isi dunia. Dunia bukan hal sakral yang selalu terkait dengan Sang Pencipta. Manusia harus sebisa mungkin mengoptimalkan sumber daya alam agar bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia. Konsep ini juga menjadikan alam yang tadinya dikenal sebagai tanda kehadiran Tuhan menjadi instrumen untuk menyembah Tuhan. Jadi, bercocok tanam, membangun pabrik, dan mencegah bencana alam, juga merupakan ritual ibadah di samping dzikir dan puasa.

Dus, secara umum, yang harus diformulasikan dalam kancah teologi modern adalah upaya menemukan perilaku sosial yang menjadi ekspresi iman seseorang. Perlu diingat, bahwa konfigurasi akidah yang sudah terkonsep tersebut harus dimanifestasikan dalam perwujudannya sebagai tingkah laku seseorang yang beriman. Yang dimaksud di sini adalah bagaimana membentuk individu Islam yang tidak hanya terpenjara dalam corong-corong perdebatan teoritis. Membentuk seorang Muslim yang justru mampu menjalankan aktivitas sosial masyarakatnya, dengan dilandasi prinsip keyakinan yang kuat. Ajaran akidah itu harus merakyat dalam artian selalu mengindahkan sisi kemanusiaan yang nantinya dapat menghasilkan implikasi-implikasi aplikatif, bukan hanya konfigurasi teoritis ketuhanan belaka.

Epilog
Akhirnya, penulis berharap elaborasi singkat ini mampu mengantarkan akidah umat Islam konvensional yang terlihat regresif jika ditinjau dari optik kontemporer, menuju teologi modern yang progresif, senafas dengan nilai-nilai kemanusiaan masa kini. Upaya merealisasikan konsepsi teologi kemanusiaan yang digagas para pemikir tersebut sudah sewajarnya untuk terus dan selalu digalakkan. Tugas seorang muslim bukan hanya jengkang-jengking di atas sajadah, namun juga berusaha mengatasi problematika sosial-kemasyarakatan di dunia ini.

Sekali lagi penulis ingatkan di lembar terakhir ini, bahwa implementasi rasional-realistis dalam beragama harus digalakkan. Jika dahulu konsep teologi sangat bersifat teoritis sehingga hanya berguna untuk memberi disparitas antara orang Islam dan Kafir, maka sekarang teologi harus lebih bersifat realistis. Sebuah keimanan harus diracik untuk dapat melandasi manusia dalam upayanya mengentaskan kemiskinan Keyakinan seseorang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kecenderungan intelektualitas masyarakat. Pun sebuah pandangan ketuhanan seseorang harus mampu melandasi perilaku politik manusia.

Sebuah teologi yang matang dan setingkat di atas sebuah keyakinan adalah teologi yang mampu mensejahterakan umat manusia di dunia dan akhirat.

0 Response to " "

Post a Comment

About Me

My photo
Yunani memiliki Peradaban Nalar, Arab-Islam punya Peradaban Teks...Mungkin, diriku ini sedang terhanyut dalam Peradaban Imajinatif